Bapak hebat. Ia sangat bekerja keras untuk istri dan anaknya. Semenjak aku beranjak usia 18 tahun, ada rasa kasihan terhadapnya mempunyai anak yang kurang bersyukur sepertiku. Maaf ya pak.
Sangat lekat di ingatanku, bagaimana ia bekerja serabutan, bekerja keras yang benar-benar melakukan pekerjaan kasar.Â
Merintis, jadi kuli pengangkut kayu yang jaman dulu masih diangkut menggunakan kerbau, belum ada mobil. Pulangnya tak tentu, kadang sebulan sekali atau seminggu sekali. Di usianya yang sudah 60-an tahun pun, ia masih jadi pekerja kasar.Â
Mengingat belasan tahun lalu, kala itu senja, aku berdua dengan mamaku di rumah bangunan dari pemerintah, menyambut bapak yang pulang sedari bekerja. Aku lihat senyumnya, bahagia.Â
Saat itu ia membawa pulang tv tabung beserta antenanya. Dan aku lupa, kapan terakhir bapak tersenyum sebahagia itu. Aku lupa. Atau memang tidak ada.
Doaku tak pernah putus untuk bapak dan mamak di rumah. Berbahagialah, dan ku mohon tunggu sebentar lagi, aku yakin akan sukses dan  menyejahterakan keluarga di sana. Aku akan belikan makanan apapun yang bapak sama mamak mau, aku akan usahakan apapun untuk bapak dan mamak.Â
Terimakasih banyak pak untuk kerja kerasnya. Aku banyak belajar dari kehidupan kita, bagaimana susahnya kita, bagaimana cara kita bersyukur atas itu, dan bagaimana kita bahagia untuk itu.Â
Terus bahagia kalian berdua di rumah sana, tunggu anakmu pulang dengan kekuatan penuh. Jaga juga kucingku ya pak. Kalau mau main jangan lupa disuruh pulang. Buat mamak, jangan diomeli ya kucingku, kasian dia ga ngerti apa-apa.
Salam kangen,
Iyik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H