Mohon tunggu...
Tri Agustini
Tri Agustini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman

Penyuka musik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Asa Ini Susut

25 Agustus 2022   15:57 Diperbarui: 25 Agustus 2022   16:07 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ingar-bingar kota ini sedikit menghangatkanku. Samarinda. Mulanya, aku buta akan kota ini, hanya dengar cerita dari kawan-kawan sekumpul tentang apa itu Samarinda. Ajaibnya kini aku hidup di sini, sendiri. 

Nilai rapor SMA membawaku menuju gerbang Universitas Mulawarman di kota ini. Dilempari sejuta harapan-harapan bisu, hingga ta sekalipun aku berani mengadu. Untuk aku si peka, tentu saja itu jadi beban. Ya! Mereka berharap hidupku menjadi lebih baik dari saudara-saudaraku yang lain. Tentu saja aku tak menolak mewujudkan itu. Sayang, itu tak semudah saat kau mengedipkan mata, dude!

Ekspektasi yang dibangun hancur seketika dengan realita. Dulu, aku berpikir bisa dengan mudah menjalaninya. Tidak, bung! Dewi fortuna belum berpihak padaku. Dari sekian banyak masalah, lagi-lagi uang yang jadi persoalan. Oh God, tak cukupkah 20 tahun aku hidup dicekik hal itu, jeritku dalam hati. 

Sebisa mungkin aku harus tetap waras. Sudah sejauh ini. Amat disayangkan jika aku mengikuti setan itu. Ya, setan itu berkata "Sudahilah lelahmu itu. Leha-leha saja sesukamu," bisiknya. "Mati saja kau!" jawabku.

Untuk bertahan di Ibukota Provinsi Kaltim ini, akhirnya banyak hal yang ku kurangi. Kurang darah, kurang gula, kurang minum, dehidrasi, kurang makan, sakit. Ya, tubuh ini sakit. Sakit sekali. Hingga akhirnya aku mengadu pada-Nya. Tuhan, transfer aku kekuatan, jika sekiranya aku belum pantas menerima transferan uang. 

Saat-saat seperti itu kadang aku senang. Senang dan kesal. Senang karena disaat aku merasa sulit teman-teman masih menganggapku memiliki uang. Kesal karena disaat aku merasa sulit teman-teman masih menganggapku memiliki uang. Aarrggh!

Melihat kawan-kawan lain tumbuh dan berkembang dengan kemampuan yang kurasa kurang lebih sama denganku, tak ayal membuatku senang melihat itu. Tak jarang aku juga ingin begitu. Sialnya ada yang membisiki ku, "jangan lupa siapa bapaknya," katanya. Itu yang membuatku terkadang merasa apalah diriku ini. Ditekan-tekan makin kecil. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun