Mohon tunggu...
Tria Cahya Puspita
Tria Cahya Puspita Mohon Tunggu... Lainnya - -

Katakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Lihat, dengar dan rasakan...menulis dengan hati.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Mengapa Tenun Tradisional Lombok Mahal?

14 Oktober 2014   22:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:02 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14132745131881993398

[caption id="attachment_347749" align="aligncenter" width="300" caption="Belajar membuat kain tenun tradisional Lombok (@TriaCP)"][/caption]

Potensi wisata yang berhubungan dengan seni budaya di NTB adalah kain tenun tradisional Lombok. Saya mendapatkan informasi bahwa pusat kerajinan tenun tradisional Lombok berada di Desa Sukarara. Selain menjual kain tenun, di sana kita juga dapat melihat pembuatan tenun itu sendiri. Informasi ini membuat saya sangat tertarik untuk melihat secara langsung proses pembuatannya. Apa sebenarnya yang membuatnya berbeda dari kain tenun lainnya sehingga berharga mahal?

Desa Sukarara berada di antara Bandara Internasional Lombok dan Mataram, tepatnya di wilayah Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah. Berjarak sekitar 25 km atau setara dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dari kota Mataram bila menggunakan kendaraan. Waktu yang paling baik jika ingin  pergi ke desa ini bagi wisatawan adalah pada hari kepulangan, sehingga dari sana bisa langsung menuju Bandara Internasional Lombok.

Tiba di desa Sukarara, saya langsung diarahkan ke sebuah artshop yang cukup besar. Di depan artshop tersebut terdapat beberapa pengrajin yang sedang duduk menenun jalinan benang. Saya pun menghampiri salah satu pengrajin. Melihat bagaimana dengan tekunnya ia mengkaitkan gulungan demi gulungan benang diantara jajaran benang yang terikat pada kayu. Saya tertegun menyaksikkannya.

Mesin tenun itu tak seperti yang saya bayangkan. Saya pernah melihat mesin tenun kain endek Bali yang masih lebih bagus dari mesin kain tenun tradisional Lombok ini. Mesin tenun tradisional Lombok sangat sederhana.

Ada 2 balok kayu yang cukup besar, masing-masing di bagian dasar sisi kanan dan kiri tepi dari mesin tenun. Pada kedua balok tersebut terpancang balok dengan ukuran yang sama dengan balok yang berada di dasar.  Tingginya tidak lebih dari tinggi leher orang dewasa ketika duduk di lantai. Sebagai penahan balok yang terpancang, disematkan balok kayu yang lebih kecil, juga berfungsi sebagai sandaran kaki pengrajin. Pada kedua balok yang terpancang tersebut disisipkan bilah kayu ke dalamnya selebar kira-kira 7 cm, melintang dari kanan ke kiri sejajar dengan balok kecil sandaran kaki. Bilah bambu tersebut menjadi ujung gulungan benang yang akan ditarik ke arah badan pengrajin.

Benang yang dililitkan pada bilah kayu tersebut memiliki sisi atas dan bawah. Benang ini merupakan benang untuk warna dasar kain. Ujung benang yang terdekat dengan badan pengrajin juga akan dililitkan ke sebuah kayu yang lebih kecil.Kayu ini yang nantinya dapat digunakan untuk menggulung bagian ujung kain yang telah jadi dan memiliki pola. Kayu ini diletakkan dekat dengan perut  pengrajin dan agar kuat menarik benang, maka bagian ujung kayu di sisi kanan dan kiri akan diikat dengan kayu yang berada di bagian belakang pengrajin. Dengan demikian kayu secara tak langsung terikat dengan badan pengrajin. Badan pengrajinlah yang akan menguatkan tarikan benang agar terbentuk pola yang sempurna.

Diantara benang dasar juga terselip benang berwarna yang fungsinya membentuk pola pada kain. Warna dapat disesuaikan dengan keinginan. Benang tersebut terlilit pada beberapa bilah bambu kecil dan salah satunya ada yang diikat dengan tali ke arah atas.  Entah apa fungsinya.  Antara bilah-bilah bambu kecil tersebut dengan kayu yang ada di perut pengrajin, terdapat bilah kayu selebar kira-kira 5 cm yang berguna untuk mengencangkan kerapatan benang. Biasanya pengrajin akan menghentakkan bilah bambu tersebut ke arah dirinya.

Ibu Budi, nama pengrajin tempat saya bertanya, tiba-tiba menawari untuk belajar langsung cara pembuatannya. Awalnya saya menolak karena takut kain yang sedang dalam proses akan rusak gara-gara ulah saya haha... Tetapi ibu Budi meyakinkan dengan mengatakan bahwa tidak apa-apa dan tidak akan rusak karena beliau akan mendampingi dalam prosesnya.

Maka belajarlah saya kepada ibu Budi. Bukan belajar membaca seperti saat SD dulu yaa - Ini ibu Budi - tetapi belajar bagaimana menggunakan mesin tenun tradisional. Sebenarnya saya tidak berharap dan tidak menyangka akan belajar langsung pada pengrajinnya. Namun saya sadari bahwa dengan mempraktekkan langsung akan jauh lebih tertanam di benak daripada hanya sekedar bertanya lantas hilang dalam ingatan.

Saya mencoba duduk dan berada dalam balutan benang pada mesin tradisional tersebut. Di depan saya terhampar ratusan bahkan mungkin ribuan benang, sejajar dengan kaki yang menjulur ke depan. Sebagian kain telah terlihat pola. Namun pola yang menghadap ke atas sebenarnya merupakan bagian sisi dalam kain. Sedangkan pola yang menghadap ke bawah, merupakan bagian depan kain saat digunakan.

Di atas pola yang telah jadi sebagian, terdapat gulungan-gulungan benang berwarna yang harus dililitkan diantara benang-benang dasar. Masing-masing gulungan benang dililitkan pada benang dasar yang jumlahnya kadang sedikit dan terkadang jumlahnya lebih banyak. Gulungan ini harus dililitkan secara berurutan dari kanan ke kiri dan juga sebaliknya dari kiri kanan. Setelah itu untuk mengencangkan kerapatan benang yang melintang, saya harus menghentakkan dengan kuat bilah kayu selebar kira-kira 5 cm tadi ke arah diri. Semakin kuat hentakannya, maka benang akan semakin rapat. Semakin rapat benang, hasil tenun akan semakin bagus.

Ada pula gulungan benang yang harus saya lemparkan dari kanan ke kiri ataupun sebaliknya dari kiri ke kanan di antara benang dasar yang berada di atas dan di bawah. Gunanya untuk mengunci pola. Hal itu dilakukan setelah menarik bilah-bilah bambu kecil yang terikat benang-benang. Bilah-bilah bambu itulah yang mengatur pola gambar dan seberapa banyak benang dasar yang akan diikat.

Aaahh...ternyata pembuatan kain tradisional Lombok memang rumit sekali! Proses yang paling rumit adalah pada saat awal penghitungan benang untuk ikatan setiap pola. Salah menghitung di awal, maka pola yang akan dibuat tidak akan sesuai dengan keinginan. Bayangkan bila sudah capai dan lama membuat, ternyata kain yang dihasilkan tidak memiliki pola yang sempurna.

Usut punya usut, pembuatan kain ini memakan waktu hingga berbulan-bulan. Padahal kegiatannya dilakukan selama berjam-jam setiap harinya. Sungguh memerlukan ketekunan dan kesabaran yang luar biasa dalam menenun selembar kain.

Lantas mengapa penenun tradisional membuat kain dengan lebar hanya setengah atau sekitar 60 cm? Sehingga kain tenun tradisional khususnya songket biasanya akan terlihat sambungan pada tengah kain?

Hal ini disebabkan penenun akan kesulitan menjalin antara benang yang satu dengan benang lainnya dari kanan ke kiri apabila lebarnya melebihi lebar badan pengrajin atau lebih dari +60 cm. Tentunya seorang pengrajin akan memerlukan usaha yang lebih dalam membuatnya dan tidak bisa dilakukan sambil duduk. Maka untuk mempermudah dan mempercepat prosesnya, lebar kain dibuat selebar ukuran badan pengrajin. Nantinya pengrajin akan menggabungkan kedua kain hingga menjadi kain songket yang utuh.

Kain tenun yang saya kerjakan, memiliki pola yang bernama Subahnala. Kata Subahnala sendiri berasal dari kata Subhanallah yang artinya Maha Suci Allah. Dan tahukah berapa harga kain songket yang saya tenun? Ternyata kain yang saya buat tersebut seharga Rp2,5 juta. Mengetahui hal itu, saya langsung menghentikan kegiatan menenun. Takjub!

Proses pengerjaan yang rumit dan lama serta memerlukan ketekunan dan kesabaran dari pembuatnyalah yang membuat harga selembar kain tenun songket tradisional Lombok berharga mahal. Sudah selayaknya kita menghargai hasil jerih payah tersebut dengan harga yang tinggi. Berwisata, bukan hanya untuk menikmati tempat hiburan atau keindahan alamnya saja, tetapi juga untuk mengetahui dan menjaga kelestarian warisan budaya bangsa. Salam dari Lombok!

Keterangan : Tulisan ini juga telah diupload pada blog pribadi http://tidakwajar.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun