Di atas pola yang telah jadi sebagian, terdapat gulungan-gulungan benang berwarna yang harus dililitkan diantara benang-benang dasar. Masing-masing gulungan benang dililitkan pada benang dasar yang jumlahnya kadang sedikit dan terkadang jumlahnya lebih banyak. Gulungan ini harus dililitkan secara berurutan dari kanan ke kiri dan juga sebaliknya dari kiri kanan. Setelah itu untuk mengencangkan kerapatan benang yang melintang, saya harus menghentakkan dengan kuat bilah kayu selebar kira-kira 5 cm tadi ke arah diri. Semakin kuat hentakannya, maka benang akan semakin rapat. Semakin rapat benang, hasil tenun akan semakin bagus.
Ada pula gulungan benang yang harus saya lemparkan dari kanan ke kiri ataupun sebaliknya dari kiri ke kanan di antara benang dasar yang berada di atas dan di bawah. Gunanya untuk mengunci pola. Hal itu dilakukan setelah menarik bilah-bilah bambu kecil yang terikat benang-benang. Bilah-bilah bambu itulah yang mengatur pola gambar dan seberapa banyak benang dasar yang akan diikat.
Aaahh...ternyata pembuatan kain tradisional Lombok memang rumit sekali! Proses yang paling rumit adalah pada saat awal penghitungan benang untuk ikatan setiap pola. Salah menghitung di awal, maka pola yang akan dibuat tidak akan sesuai dengan keinginan. Bayangkan bila sudah capai dan lama membuat, ternyata kain yang dihasilkan tidak memiliki pola yang sempurna.
Usut punya usut, pembuatan kain ini memakan waktu hingga berbulan-bulan. Padahal kegiatannya dilakukan selama berjam-jam setiap harinya. Sungguh memerlukan ketekunan dan kesabaran yang luar biasa dalam menenun selembar kain.
Lantas mengapa penenun tradisional membuat kain dengan lebar hanya setengah atau sekitar 60 cm? Sehingga kain tenun tradisional khususnya songket biasanya akan terlihat sambungan pada tengah kain?
Hal ini disebabkan penenun akan kesulitan menjalin antara benang yang satu dengan benang lainnya dari kanan ke kiri apabila lebarnya melebihi lebar badan pengrajin atau lebih dari +60 cm. Tentunya seorang pengrajin akan memerlukan usaha yang lebih dalam membuatnya dan tidak bisa dilakukan sambil duduk. Maka untuk mempermudah dan mempercepat prosesnya, lebar kain dibuat selebar ukuran badan pengrajin. Nantinya pengrajin akan menggabungkan kedua kain hingga menjadi kain songket yang utuh.
Kain tenun yang saya kerjakan, memiliki pola yang bernama Subahnala. Kata Subahnala sendiri berasal dari kata Subhanallah yang artinya Maha Suci Allah. Dan tahukah berapa harga kain songket yang saya tenun? Ternyata kain yang saya buat tersebut seharga Rp2,5 juta. Mengetahui hal itu, saya langsung menghentikan kegiatan menenun. Takjub!
Proses pengerjaan yang rumit dan lama serta memerlukan ketekunan dan kesabaran dari pembuatnyalah yang membuat harga selembar kain tenun songket tradisional Lombok berharga mahal. Sudah selayaknya kita menghargai hasil jerih payah tersebut dengan harga yang tinggi. Berwisata, bukan hanya untuk menikmati tempat hiburan atau keindahan alamnya saja, tetapi juga untuk mengetahui dan menjaga kelestarian warisan budaya bangsa. Salam dari Lombok!
Keterangan : Tulisan ini juga telah diupload pada blog pribadi http://tidakwajar.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H