Tidak semua perjanjian internasional diikuti oleh Indonesia semata-mata karena kesadaran yang tinggi dari Indonesia atas masalah atau isu tertentu. Tidak sedikit perjanjian internasional yang diikuti oleh Indonesia sebagai akibat dari desakan atau tekanan negara maju dan organisasi internasional.
Selanjutnya, keberhasilan membuat Indonesia untuk menan-datangani berbagai perjanjian internasional di bidang perdagangan internasional, HAM dan lingkungan hidup sangat superficial. Dikatakan demikian karena belum tentu perjanjian internasional akan tercermin dalam realitas. Ada dua kendala utama. Pertama, beberapa perjanjian internasional yang telah diikuti oleh Indonesia gagal ditransformasikan ke dalam hukum nasional. Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial, misalnya, tidak berakibat pada diamandemennya peraturan perundangundangan yang berkonotasi diskriminasi rasial, seperti keharusan memiliki Surat Keterangan Berkewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI).
Pemanfaatan Hukum internasional oleh Indonesia
Indonesia dalam banyak kesempatan telah menggunakan Hukum internasional sebagai instrumen politik. Ada yang berhasil tetapi lebih banyak yang tidak berhasil. Pertama, Indonesia telah memanfaatkan hukum internasional untuk memperkenalkan konsep baru demi kepentingan nasionalnya. Dalam konteks ini, Indonesia berhasil memperkenalkan konsep negara kepulauan (archipelagic state). Perjuangan Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya Deklarasi Djoeanda pada tanggal 13 Desember 1957. Keberhasilan memanfaatkan hukum internasional ini ditunjang oleh pemikiran yang logis, konsistensi perjuangan di forum internasional dan diplomasi yang gigih.
Namun perjuangan Indonesia untuk mengubah konsep yang selama ini dianut oleh masyarakat internasional dibidang hukum angkasa berakhir dalam suatu kegagalan. Sejak lama Indonesia menghendaki agar Geo-Stationery Orbit (GSO) diakui sebagai bagian dari Indonesia.
Pada tahun 1997 Indonesia memanfaatkan hukum internasional untuk menyelesaikan sengketa wilayah dengan Malaysia atas pulau Sipadan dan Ligitan. Penyelesaian sengketa wilayah bila tidak terselesaikan biasanya berujung pada penggunaan kekerasan. Dengan membawa sengketa ini dalam koridor hukum internasional, yaitu ke Mahkamah Internasional (MI), Indonesia telah berhasil menghindari terjadinya peperangan. Peperangan bukanlah opsi terbaik mengingat Indonesia dan Malaysia adalah anggota ASEAN. Terlebih lagi Indonesia pernah terlibat dalam suatu konfrontasi dengan Malaysia di masa lampau.
Meskipun berhasil menghindari terjadinya peperangan, namun Indonesia gagal dalam meyakinkan para hakim MI agar kedua pulau yang disengketakan masuk dalam kedaulatan Indonesia Disamping pemanfaatan hukum internasional seperti telah diuraikan, Indonesia telah memanfaatkan hukum internasional sebagai alat penekan terhadap pemerintahan negara lain.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H