Mohon tunggu...
Tria Agda Marenty S.
Tria Agda Marenty S. Mohon Tunggu... Administrasi - Government Public Relations Officer

An inhabitant currently staying in Sumatra. A food taster. A young woman living in an unpredictable world.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Menunggu Hujan

3 Oktober 2015   11:56 Diperbarui: 5 Maret 2021   08:27 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tak berhak mengendalikan turunnya hujan. Namun, ternyata masih sering mengeluh pada turunnya hujan, menganggap hujan datang di waktu yang tidak tepat. Padahal itu hanya celah ego saja, yang menganga lebar ketika aku merasa segala kesibukan duniawi terhambat dengan hujan yang turun tiba-tiba. Aku seringkali lupa mensyukuri bahwa hujan adalah sela waktu untuk melepas penat sejenak dan menikmati ribuan tetes air, sejuknya udara, dan indahnya irama hujan yang ada.

Aku suka ditemani secangkir kopi panas di sebuah café ketika hujan, apalagi ditemani sahabat sekaligus teman mengobrol. Membayangkan kami duduk berhadapan di depan satu meja, membicarakan dan menertawakan apapun yang menarik perhatian, sambil menyesap aroma kopi yang membantu menghangatkan. Dan hujan yang turun dapat memperpanjang komentar yang kami berikan pada orang-orang lain di sekitar meja. Sampai hujan berhenti, dan menyisakan seteguk terakhir kopi yang sudah dingin dalam cangkir masing-masing. Membayangkannya saja sudah cukup seru.

Kadang aku tetap mengeluhkan turunnya hujan. Itu pasti ketika aku melupakan betapa banyak waktu yang kulalui dengan sengaja membiarkan badan mandi hujan, menikmati guyuran ribuan tetes air bersama teman dan sahabat masa sekolah. Di saat-saat itu ketika lupa hal-hal yang menyulitkan, lupa semua perselisihan, pertengkaran, dan semua beban yang tadinya sangat memberatkan. Betapa mengasyikkannya berkejar-kejaran, bersenandung dengan lagu-lagu kesukaan, tertawa, dan sesuka kami, apapun yang melupakan kalutnya pikiran.

Aku melupakan betapa hujan adalah sebuah anugerah. Pula pada masa masih takut akan petir, dan yang kulakukan hanya bergegas memeluk ibuku. Itu sudah tak pernah terjadi lagi sekarang karena aku sudah tidak takut pada petir. Ibuku yang takut dan bergegas memeluk. Sungguh, kedekatan fisik itu membuatku merasakan hangat yang menjalar begitu saja ke seluruh tubuh.

Sesal sering timbul karena aku pernah mengeluhkan hujan turun secara sepihak karena begitu egois. Kini aku merindukan hujan, benar-benar ingin agar hujan deras datang. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kalinya hujan mampir ke kotaku ini. Entah sudah berapa puluh hari kami menghirup udara yang setiap harinya berubah-ubah tingkat ISPU-nya. Entah sudah berapa puluh hari sekolah-sekolah harus diliburkan dan banyak anak harus diopname karena ISPA, masyarakat mengeluhkan gangguan penglihatan dan sakit mata, serta pilek yang tak kunjung berhenti. Entah sudah berapa puluh hari kami menyuarakan kondisi kami di sini melalui berbagai media.

Harus berapa tahun lagikah setiap tahunnya kami harus menyambut dan dengan terpaksa menerima berada di musim kabut asap?

 

NB: Foto diambil tanpa menggunakan kamera ponsel pintar tanpa efek kamera apapun dari sebuah kamar di lantai 9 salah satu hotel di Jambi, sekitar pukul 2 siang.

Jambi, 3 Oktober 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun