Kafir …
Kata  yang hari – hari  ini semakin  sering muncul.
Mereka yang mengucapkan tentu yang tidak kafir.
Mereka yang tidak kafir itu mereka yang percaya pada Allah Swt, dan rasulNya.
Sementara saya  …  ya memang kafir.
Apakah saya beragama dan percaya pada Tuhan pencipta langit dan bumi?
Tentu saja saya percaya!
Saya beragama dan percaya kepada Tuhan pencipta langit dan bumi.
Tetapi di negeri ini saya tetap masuk golongan kafir.
Dan mereka yang menggolongkan saya kafir itu benar adanya .
Coba cek dalam kamus bahasa kita !
Mereka benar adanya.
Apakah saya marah ?
Ooo … tentu tidak.
Apakah saya sedih?
Ooo… tentu tidak.
Apakah saya membenci mereka yang mengatakan saya kafir?
Ooo… tentu tidak.
Saya bersyukur karena agama ku tidak mengajarkan itu.
Agamaku mengajarkan bagaimana harus mengampuni tidak terbatas.
Agamaku mengajarkan cinta kasih kepada sesama, bahkan musuh sekalipun.
Agamaku mengajarkan Tuhan itu ada pada sesama kita yang lemah, miskin dan menderita.
Agamaku mengajarkan jalan keselamatan dengan caraNya
Agamaku mengajarkan jalan kebahagiaan dengan caraNya
Maka saya tetaplah kafir yang bahagia.
Terlebih saat melihat  dunia … .
Di belahan nun jauh di sana.
Saat perang memporak porandakan  segalanya
Membuat manusia tercerai berai
Lari dari kampung halaman dan negaranya
Menyeberang padang tandus  dan ganasnya ombak laut
Demi nyawa dan masa depan keluarga.
Orang – orang kafir  mengulurkan tangan …
Membiarkan mereka melintas batas negara
Menjemput  yang terombang ambing dalam ganasnya ombak lautan
Keluarga – keluarga membuka pintu untuk memberi tumpangan.
Menerima dan merawat anak – anak  yang terlantar .
Dan sesungguhnya mereka merasa beruntung.
Sebab mereka berolah anugerah.
Anugerah kesempatan untuk  menolong Tuhan.
Menolong Tuhan?
Lucu kedengarannya…
Bisa menjadi bahan olok – olok tawa, kok Tuhan yang Maha Kuasa perlu ditolong.
Tapi itulah iman kepercayaan saya.
Tuhan itu ada pada sesama kita yang lemah dan menderita
Sesama kita yang miskin dan tersingkir
Sesama kita yang putus asa dan kehilangan harapan
Disanalah Tuhan itu berada.
Tuhanku itu lemah lembut selemah para pengungsi yang kelaparan dan kehausan.
Sesederhana para miskin dan tersingkir.
Maka Ia tidak pemarah dan tidak menghukum.
Ia tidak merasa dilecehkan dan dihina karena demikian adanya.
Saya yang kafir … .
Tetap bahagia di bumi pertiwi tercinta ini.
Sebab disinilah aku dilahirkan
Disinilah  tanah tumpah darah ku.
Bahkan saat ada  orang agamis berteriak tak bersahabat
Dengan suara kasar dan telunjuk menuding.
Kami tetap bahagia dan gembira.
Karena nyatanya …
Yang berbuat demikian hanya sebagian kecil dari anak bangsa.
Hanya karena berani bersuara dan diliput media
Seolah itu cermin semua.
Buktinya …
Di keluarga besarku … .
Di Kampungku ... .
Di Desaku … .
Di lingkungan kerjaku … .
Di lingkungan pertemananku ... .
Semua hidup rukun.
Rukun yang nyata dan bukan sandiwara.
Saling menghormati
Saling menghargai
Hidup bersama dalam  kebhinekaan
Dan inilah sesungguhnya Indonesia.
Indonesia yang bhineka.
Yang bertumpah darah satu, tanah air Indonesia
Yang berbangsa satu, bangsa Indonesia
Yang menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia .
3hatma_3/11/16
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H