Mohon tunggu...
Tri Hatmoko
Tri Hatmoko Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Orang kampung dari lembah Sembuyan, Penikmat music kroncong, campur sari dan pop jawa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sertifikat Halal Ganti Label Haram, Mungkinkah?

25 Februari 2014   16:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:29 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_324543" align="aligncenter" width="601" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]

Pemberian sertifikat halal pada produk makanan dan kosmetik kembali menjadi perbincangan.  Pasalnya ada tuduhan permainan uang antara lembaga yang diberi kuasa untuk menerbitkan sertifikat dan produsen produk. Sementara dari pihak penerbit sertifikat, seperti saya baca di salah satu media online ( di sini ) mengatakan sertifikat halal itu gratis. Namun pihak - pihak yang pernah berhubungan menyampaikan hal yang sebaliknya.

Kalau memang ini gratis, tentu tak perlu ada polemik. Setiap produsen seharusnya dengan senang hati mengurus sertifikat halal ini bagi produknya. Sebab ini pasti menguntungkan dalam hal pemasaran produk. Sementara jika memang permainan uang itu sungguh terjadi, rasanya kita tak perlu juga kaget dan heran, sebab sepertinya apapun bisa "dimainkan" untuk diambil keuntungannya bagi diri sendiri maupun kelompoknya di negeri kita ini. Pencetakan kitab suci, benda yang sakral pun dikorupsi juga toh?

Tetapi sebagai negara dengan  mayoritas warganya  beragama Islam, pemerintah wajib berperan kuat agar setiap produk yang beredar ada kejelasan tentang haram atau halalnya. Dengan kejelasan informasi itu, pemerintah dapat mendesain sistem yang membuat informasi itu bisa sampai ke masyarakat sehingga tidak ada masyarakat yang keliru atau karena tidak tahu sehingga mengkonsumsi atau menggunakan yang haram.

Pemerintah telah memiliki lembaga yang dapat berperan lebih banyak untuk ini, yaitu BPOM. Dari lembaga ini masyarakat bisa mendapatkan informasi valid tentang sebuah produk. Informasi inilah yang kemudian tinggal kita manfaatkan bersama.

Pertanyaan saya,  lebih banyak mana produk halal atau produk haram yang beredar di Indonesia? Sebagai contoh gampangnya kalau kita masuk mini market yang bertebaran di berbagai pelosok itu, yang sering dibangun berdekatan, rasanya produk haram jauh lebih sedikit. Juga di super market - super market di kota besar, barang yang masuk kategori haram terlihat lebih sedikit. Juga di pasar - pasar tradisional, biasanya penjual daging - daging haram menempati tempat terpisah dengan lokasi yang lebih sempit.

Dengan kondisi seperti itu, kalau pemikiran kita dibalik, kira - kira bisa tidak? Ada beberapa gagasan sepele dan sederhana. Misal produk - produk haram itu diberi label. Gak usah repot - repot instansi besar semacam MUI yang begitu terhormat yang harus turun tangan. Buat aturan, mini market atau supermaket wajib menempelkan label haram. Atau bisa juga mini market wajib memberi tempat khusus untuk memajang produk - produk dengan label haram ini. Selain itu mereka juga wajib memasang daftar produk yang masuk kategori haram besar - besar di setiap tokonya. Atau kalau mau lebih mudah, di setiap rak tempat produk di pajang diberi daftar haram ini, sehingga pembeli bisa langsung mengecek.

Dari mana super maket ini mendapatkan data produk, BPOM tentunyua. Biarkan BPOM berperan lebih besar bagi masyarakat. Saat ini kita biasanya mendengar gerak lembaga ini saat - saat menjelang hari raya. Mengecek tanggal kedaluwarsa produk dan juga hal - hal lainya.

Bagi saya pribadi yang terpenting  umat harus dilindungi. Jangan sampai oleh karena ketidak tahuan melanggar aturan agama. Jangan sampai umat mengkonsumsi atau menggunakan produk haram.  Negara wajib berperan untuk memastikan hal itu. Jika niat tulus seperti itu yang dihidupi, rasanya tak perlu terjadi polemik dan kerepotan. Niat baik kata orang bijak selalu menemukan jalan, sementara niat jahat selalu berujung pada jurang. Namun karena niat tidak kelihatan, tak ada yang tahu. Niatnya A  di mulut  bisa keluar B. Semoga segera ada pilihan yang tepat yang menguntungkan umat dan tak ada niat - niat jahat yang mendompleng dalam semangat mulia pekerjaan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun