Liquid Petroleum Gas ( LPG) yang lebih memasyarakat dengan sebutan elpiji sekarang ini sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat. Tidak hanya masyarakat perkotaan, tetapi juga sampai ke pelosok – pelosok kampung. Hal ini tak lepas dari keberhasilan pemerintah dalam melakukan konversi dari minyak tanah ke gas. Kampanye secara masif bahwa menggunakan gas itu lebih murah dan irit, lebih panas sehingga memasak lebih cepat matang, juga lebih bersih disertai pemberian cuma – cuma kompor gas satu tungku beserta tabung gas ukuran 3 kg ternyata mampu membuat masyarakat meninggalkan kebiasaan yang sudah secara turun temurun dihidupi, yaitu menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk urusan dapur. Di sana – sini tentu ada sebagian masyarakat yang memang tidak mudah untuk menyesuaikan diri. Namun seiring dengan tidak tersedianya lagi minyak tanah bersubsidi, maka tak ada pilihan lain bagi masyarakat selain beralih menggunakan LPG.
Di saat masyarakat sudah terbiasa ‘hidup’ dengan gas, ternyata pengetahuan tentang gas itu sendiri sangat minim, termasuk saya pribadi. Ada gas ukuran 3 kg dan 12 kg, juga ada blue gas. Ada lagi gas alam yang langsung dialirkan melalui pipa ke rumah – rumah penduduk. Saya berpikir bahwa semua itu sama. Sama – sama gas dan tidak ada bedanya. Pemahaman ini juga terjadi dengan banyak teman – teman saya, yang saya yakini juga cermin dari pemahaman sebagian besar masyarakat. Ketidaktahuan inilah yang menjadi salah satu pendorong saya untuk ikut hadir di acara Kompasiana Nangkring Bareng Pertamina pada Jumat (29/8) lalu di Penang Bistro, Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Penjelasan mas Adi ( Adiatma Sardjito) Media Manager PT Pertamina ( persero )memberikan pengetahuan baru sekaligus melahirkan pertanyaan – pertanyaan baru juga pemikiran seputar gas alam dan LPG ini.
Masyarakat harus terus di Edukasi.
Seperti yang tertulis di awal, kita semua tentu masih ingat iklan layanan untuk mengajak masyarakat berpindah dari bahan bakar minyak ke gas saat itu begitu masif. Semua jenis media digunakan dengan durasi waktu yang cukup lama. Hasilnya bisa kita lihat, keraguan bahkan ketakutan menggunakan gas berangsur hilang, dan masyarakat sudah terbiasa dan akhirnya menikmati ‘hidup’ dengan gas. Namun sepertinya semua selesai sampai di situ. Masyarakat sudah bersedia beralih dari bahan bakar minyak ke gas. Hingga akhirnya ada ‘teriakan’ dari PT. Pertamina sebab setiap tahun harus merugi trilyunan rupiah dari bisnis LPG nya karena ternyata LPG tersebut dijual dibawah harga keekonomian.
Saya yakin banyak masyarakat yang sesungguhnya tidak paham, apa yang sesungguhnya terjadi. Apa bedanya LPG 3 kg dan 12 kg? Mana yang disubsidi? Subsidinya seberapa besar? Siapa yang berhak menikmati subsidi? Mengapa PT. Pertamina yang rugi, kok bukan pemerintah? LPG ini satu sumber yaitu PT. Pertamina kemudian menyebar dalam ruang yang sama di masyarakat. Tak ada batas atau aturan yang jelas siapa harus menggunakan yang mana. Kalaupun ada aturan tertulis, realitasnya tak efektif dalam prakteknya. Masyarakat bebas memilih sesuai selera.
Termasuk saya sendiri, yang hingga saat ini belum pernah menikmati subsidi dari pemerintah, sebab hanya memiliki tabung ukuran 12 kg. Sementara keadaan ekonomi keluarga saya, masih jauh dibawah profil pengguna LPG 12 kg seperti dipaparkan mas Adi. Hal ini menjadi aneh dan membingungkan, saat saya tidak menikmati subisdi pemerintah ternyata saya merugikan PT. Pertamina ( persero ). Hal ini berlaku untuk seluruh pengguna LPG 12 kg tanpa melihat kemampuan ekonominya. Pertanyaanya apakah saya harus menggunakan LPG 3 kg agar saya tidak merugikan PT. Pertamina? Keadaan yang aneh dan membingungkan!
Situasi nir pemahaman seperti inilah yang harus diakhiri. PT. Pertamina harus berani mengalokasikan dana untuk terus mengedukasi masyarakat. 5 – 7 trilyun yang harus ditanggung oleh PT. Pertamina tentunya nilai yang teramat besar jika dibandingkan dengan dana yang dibutuhkan untuk mengedukasi masyarakat. Sementara jarak harga keekonomian dengan harga jual sekarang masih sangat jauh, artinya kenaikan harga LPG 12 kg akan terus terjadi entah berapa kali hingga mencapai harga keekonimaannya, maka tanpa pengetahuan yang cukup dari masyarakat dipastikan akan selalu timbul polemik dan keresahan setiap kali PT. Pertamina akan melakukan kenaikan harga. Walaupun konsumennya tidak lebih dari 20% dari keseluruhan pemakai LPG, namun nyatanya hal itu cukup menyulitkan PT. Pertamaina.
Tak ada jalan mundur.
Apapun yang terjadi masyarakat tidak mungkin kembali ke bahan bakar minyak. Sementara LPG yang harus diimpor dan juga disubsidi oleh pemerintah, lama kelamaan pasti juga akan membebani negara. Untuk itu Pemerintah dan PT. Pertamina ( persero ) harus mampu menata dan menggunakan semua yang tersedia baik gas alam maupun LPG. Siapa yang mengelola dan bagaimana pembagian pengelolaannya antara Perusahaan Gas Negara dan PT. Pertamina bisa dirancang untuk kebaikan masyarakat juga Perseroan.
Pemerintah harus berani mengalokasikan dana untuk membangun infrastruktur yang diperlukan agar gas alam kita bisa tersalur ke masyarakat sebanyak mungkin mengingat Negara kita kaya akan gas alam. Mungkin dana awal terlihat besar dan berat, namun jika dibandingkan terus memberikan subsidi tentu itu lebih baik untuk jangka panjang.
PT. Pertamina ( persero ) juga harus merancang ulang tata kelola pemasaran LPG. LPG bersubsidi dan LPG non subsidi adalah barang yang sama hanya dikemas berbeda. Sementara dua barang itu akan berada di pasar yang sama bertemu dengan pembeli yang sama. Wajar saja kalau masyarakat memilih yang lebih murah. Maka PT. Pertamina (Persero ) ditantang untuk dapat memberikan nilai tambah pada LPG 12 kg. Masyarakat harus mendapatkan manfaat tertentu yang tidak didapat pada LPG 3 kg. Manfaat apa yang bisa diberikan? Ini tantangan untuk PT. Pertamina. Namun jika itu bisa diberikan dan sungguh bermanfaat, niscaya migrasi dari LPG 12 kg ke LPG 3 kg yang dikawatirkan tidak terjadi. Mungkin saja yang terjadi justru sebaliknya.
Di samping itu PT. Pertamina juga harus aktif dalam memastikan masyarakat mendapatkan harga sesuai yang telah ditetapkan. Realitasnya saat ini para pengecer sepertinya bebas menentukan harga. Misalnya saja, sebelum kenaikan pada 10 September 2014 yang lalu dilingkungan saya LPG 12 kg dijual dengan harga bervariasi antara Rp 105.000 – 120.000. Memang harga tersebut masih dalam rentang harga yang ditentukan pada kenaikan harga bulan Januari 2014 yang lalu. Namun mengingat ini satu daerah yang sama, maka dapat menimbulkan keadaan yang tidak nyaman bagi masyarakat. Mereka bisa saja merasa menjadi korban ketidak jelasan pengelolaan LPG. Berbeda dengan bahan bakar minyak dahulu yang mematok harga yang sama. Maka memastikan masyarakat mendapatkan harga LPG benar sesuai aturan menjadi bagian penting dari perbagikan tata kelola LPG. Caranya tentu bisa bermacam – macam. Misalnya saja setiap pengecer wajib memasang dengan jelas daftar harga jual gas yang secara resmi dikeluarkan oleh PT. Pertamina. Dengan daftar resmi itu masyarakat bisa ikut mengkontrol sekaligus dapat membuat aduan jika ada pengecer yang menyalahi aturan dan PT. Pertamina dapat bertindak tegas agar kepercayaan masyarakat tidak rusak. Selain itu PT. Pertamina harus aktif membuat iklan layanan di berbagai media secara terus menerus agar masyarakat terus dapat memperbaharui pengetahuannya tentang LPG. Dan masih banyak cara lain yang bisa dilakukan yang membuat masyarakat dapat merasakan bahwa PT. Pertamina terus hadir mengawal dan melindungi konsumennya agar tidak dirugikan.
[caption id="attachment_324429" align="aligncenter" width="640" caption="foto - foto dok. Pribadi"]
Dengan berbagai perbaikan tata kelola penjualan gas baik LPG maupun gas alam yang dilakukan oleh pemerintah bersama dengan PT. Pertamina ( persero ) diharapkan akan terjadi penyaringan pengguna sesuai tingkat kemampuan dan kebutuhannya. Termasuk di dalamnya LPG 12 kg yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah diharapkan dapat dijual hingga mencapai angka keekonomiannya.
Maka masing – masing pihak harus berada pada tugas dan tanggungjawabnya masing – masing. Pemerintah harus dapat menjalankan amanat Undang – Undang bahwa masyarakat harus dapat mendapatkan manfaat yang sebesar – besarnya dari kekayaan alam kita, sementara PT. Pertamina ( Persero ) harus menjalankan usahanya sesuai prinsip – prinsip komersial yang kuat sesuai visi dan misinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H