Memasuki lompongan (gang) antara dua rumah masing-masing berhalaman luas. Itulah salah satu rumah inap yang didiami peserta hadir JSAT 2024. Rumah sederhana jauh dari mewah. Halamannya rindang, dan bersih. Memasuki ruang tamu yang sederhana dan tidak banyak perabot, Â di atas meja sudah menyambut tiga toples camilan. Di antaranya kerupuk gadung, klemben (jajanan khas Banyuwangi), dan keripik pisang. Hidangan paling nikmat adalah keramahan khas Nusantara. Sangat mengademkan hati yang jauh dari rumah.
Ketika ditawarkan minuman, penulis mengatakan apa saja boleh. Munculah penawaran, "Mau dibuatkan kopi, ya?" Rupanya benar, kopi merupakan minuman favorit di mana-mana. Terlebih lagi kopi adalah produk unggulan Banyuwangi. Ketika ditawarkan teh panas, penulis segera mengiyakan. Karena memang teh panas adalah minuman kesukaan.
Teh panas dihidangkan. Penulis segera menikmati. Tapi segera pula berhenti. Teh manis sekali. Semanis sambutan tuan rumah pada kami. Antara diminum dan tidak, jadi simalakama. Orang Jawa bilang, sungkan (tidak enak hati). Maklum, kami belum mengenal karakter masyarakat Banyuwangi. Penulis berinisiatif menambahnya dengan air putih. Masih saja terlalu manis. Akhirnya ritual minum teh panas tidak dilanjutkan. Diganti ritual obrolan cantik antara tuan rumah dan tamu. Banyak kelucuan akibat tidak pahamnya bahasa Osing. Inilah yang membuat suasana menjadi gayeng. Tuan rumah antusias mendengarkan cerita-cerita tentang kedatangan peserta hadir di Bumi Blambangan.
Rumah yang tidak seberapa besar itu memiliki dua kamar. Satu untuk penulis dan satu lagi untuk dua pelajar yang hadir pada JSAT 2024. Perabotan kamar seadanya, tapi bersih. Di depan kamar ada TV tabung, model lama. Ada kasur bersprei dan bantal. Di situlah pemilik rumah tidur. Mereka tinggal berdua. Anak cucu ada di rumah masing-masing tak jauh dari rumah tersebut.
Lepas mengobrol, penulis pamit berbenah diri untuk persiapan acara di kantor Bupati pada pukul 18.00 wib. Kami segera ke RBO. Di sana sudah berkumpul banyak penyair dari berbagai penjuru, menunggu mobil jemputan. Momen penantian digunakan untuk reuni dan juga menciptakan momen selfie heboh, menarik, dan unik. Pastinya kelak membuat rindu bertubi-tubi tak tertahankan. Gelak tawa bahagia memenuhi teras dan halaman RBO. Ajang reuni, silaturahmi, menimba ilmu, membuka pintu motivasi, mengasah tulisan. Paling penting adalah rasa syukur dan bahagia.
Acara pembukaan dan launching Antologi Puisi Jambore Sastra Asia Tenggara Ijen Purba TANAH, AIR, DAN BATU di kantor Bupati Banyuwangi, sudah ramai. Bersama Bapak Bupati juga hadir Taufik Rohman, M.Si. (Plt. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi), Abah D. Zawai Imron, Wayan Jengki Sunarta (kurator), Mahwi Air Tawar (kurator), Samsudin Adlawi (Direktur Radar Banyuwangi), Bunda Rohani Din (Singapura). Juga hadir Ibu Dewi Motik. Juga pejabat-pejabat lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Tamu undangan dan peserta hadir dihibur dengan penampilan musik dan tari Sanggar Seni Joyo Karno. Selain gala dinner, malam itu 24 Oktober 2024 ada pembagian tugas Penyair School Visit yang ada di Banyuwangi. Penulis mendapat tugas shool visit ke MTsN 6 Banyuwangi di kecamatan Glemnore, bersama penyair dari Malaysia dan Banyuwangi dua orang.
Jarum jam berjalan cepat. Waktu menunjukkan pukul 21.30 wib. Segera masing-masing peserta hadir melakukan koordinasi dengan kepala sekolah masing-masing yang diundang khusus, termasuk Kepala MTsN 6 Banyuwangi. Dari koordinasi tersebut, diputuskan hari Jumat 25 Oktober 2024 kami harus sudah berkumpul di RBO pukul 06.00 wib. Perjalanan menuju kecamatan Glenmore cukup jauh.
Waktu terus berjalan menuju pukul 22.30 wib. Saatnya kembali ke rumah inap di desa  Kemiren. Tapi harus menunggu mobil jemputan kembali dari mengantar para peserta hadir ke RBO. Hingga menjelang pukul 24.00 kami sampai di RBO. Desa Kemiren sudah tidur lelap diselimuti sepi. Walaupun lampu berpendar di tiap rumah, yang tampak adalah hitam dan dingin.
Berjalan menuju rumah inap, masuk lompongan yang gelap, sebenarnya ada dag dig dug. Penulis dan dua peserta muda berjalan cepat menuju rumah inap yang lampunya menyala. Antara dua rumah di belakang tersebut juga ada lompongan (gang) menuju sungai. Lompongan ini bagi penulis adalah bagian yang paling gelap. Penulis tidak berani melihat bahkan melirik ke lompongan ini. Terlebih lagi pemilik rumah sudah tidur tapi tetap siaga menanti. Terbukti, sekali ketuk sudah bangun dan membukakan pintu.
Keesokan pagi, sebelum ke RBO pukul 06.00 wib, Ibu mengatakan, "Untung tidak bisa melihat. Kalau bisa melihat pasti takut seperti saya." (wul)