Teori attachment atau teori keterikatan adalah sebuah teori psikologi yang dikembangkan oleh John Bowlby dan Mary Ainsworth, yang menekankan pentingnya hubungan emosional yang terbentuk antara anak dan pengasuh utama (biasanya ibu) selama masa perkembangan awal. Teori ini memiliki pengaruh yang besar dalam pemahaman kita tentang perkembangan anak, peran pengasuh, dan bagaimana pengalaman masa kecil dapat mempengaruhi hubungan interpersonal di masa dewasa.
1. John Bowlby: Pencetus Teori Attachment
John Bowlby, seorang psikoanalis asal Inggris, adalah tokoh pertama yang mengembangkan teori keterikatan. Bowlby percaya bahwa anak memiliki kebutuhan bawaan untuk membentuk hubungan emosional dengan pengasuh utama, yang biasanya ibu. Menurut Bowlby, hubungan ini memiliki tujuan biologis, yaitu untuk memastikan kelangsungan hidup anak. Keterikatan ini membantu anak merasa aman, yang memungkinkan anak untuk mengeksplorasi dunia di sekitarnya dengan rasa aman, karena ia tahu bahwa pengasuh akan ada untuk memberinya perlindungan dan dukungan jika diperlukan.
Beberapa aspek utama dari teori attachment Bowlby adalah:
Keterikatan adalah perilaku biologis yang disusun oleh evolusi: Anak-anak dilahirkan dengan dorongan alami untuk membangun ikatan dengan pengasuh, yang merupakan cara untuk menjamin keselamatan dan kelangsungan hidup mereka.
Proses keterikatan: Bowlby mengemukakan bahwa anak membentuk keterikatan dengan pengasuh melalui serangkaian fase perkembangan, di mana keterikatan ini berkembang seiring dengan pertumbuhan anak.
Internal Working Model: Bowlby berpendapat bahwa hubungan pertama anak dengan pengasuh membentuk suatu model mental atau "internal working model" tentang bagaimana hubungan interpersonal bekerja. Model ini mempengaruhi cara anak melihat dirinya sendiri, orang lain, dan hubungan sosial sepanjang hidup.
2. Mary Ainsworth: Penelitian dan Pengembangan Teori Attachment
Mary Ainsworth, seorang psikolog asal Amerika, merupakan rekan Bowlby dalam mengembangkan teori ini, dan dia dikenal karena penelitian empiris yang mendalam tentang attachment. Salah satu kontribusi utamanya adalah penelitian eksperimen yang dikenal dengan nama "Strange Situation Procedure" (Prosedur Situasi Aneh). Penelitian ini dilakukan pada bayi berusia 12 hingga 18 bulan untuk mengamati respons mereka terhadap perpisahan dan reuni dengan ibu mereka.
Melalui penelitian ini, Ainsworth mengidentifikasi tiga pola utama keterikatan pada anak, yang dikenal sebagai "secure attachment," "insecure-avoidant attachment," dan "insecure-ambivalent/resistant attachment." Pada tahun berikutnya, dia menambahkan satu pola keterikatan lagi, yaitu "disorganized attachment". Berikut penjelasannya:
a. Secure Attachment (Keterikatan Aman)
Anak yang memiliki keterikatan aman cenderung merasa nyaman dan percaya diri ketika pengasuh mereka ada di dekatnya. Mereka merasa aman untuk mengeksplorasi lingkungan mereka, tetapi tetap mencari kenyamanan pada pengasuh ketika mereka merasa terancam atau cemas. Ketika pengasuh pergi dan kembali, anak dengan keterikatan aman akan menunjukkan ketenangan dan reaksi positif terhadap reuni dengan pengasuh.
Ciri-ciri anak dengan keterikatan aman:
Mudah dipuaskan setelah perpisahan dengan pengasuh.
Mencari penghiburan dari pengasuh saat merasa cemas.
Eksploratif dan percaya diri untuk menjelajahi dunia sekitar saat pengasuh ada di dekatnya.
b. Insecure-Avoidant Attachment (Keterikatan Tidak Aman-Penghindar)
Anak dengan keterikatan ini cenderung menghindari atau tidak memperlihatkan banyak reaksi emosional terhadap perpisahan atau reuni dengan pengasuh. Mereka mungkin terlihat tidak terlalu memperhatikan pengasuh atau bahkan menghindari kontak mata, meskipun mereka tampaknya tidak menunjukkan kecemasan yang jelas.
Ciri-ciri anak dengan keterikatan penghindar:
Tidak terlalu terpengaruh oleh perpisahan dengan pengasuh.
Menghindari kedekatan fisik atau emosional dengan pengasuh.
Tampak tidak membutuhkan kenyamanan dari pengasuh saat merasa cemas.
c. Insecure-Ambivalent/Resistant Attachment (Keterikatan Tidak Aman-Ambivalen)
Anak dengan keterikatan ini menunjukkan ketergantungan yang kuat pada pengasuh, tetapi juga cemas dan sulit untuk merasa tenang. Mereka mungkin menunjukkan kecemasan yang besar saat pengasuh pergi dan kesulitan untuk menenangkan diri bahkan setelah pengasuh kembali. Anak dengan keterikatan ini sering kali menunjukkan perilaku yang bertentangan, seperti ingin berada dekat dengan pengasuh namun juga tampak marah atau kesal.
Ciri-ciri anak dengan keterikatan ambivalen:
Menunjukkan kecemasan yang tinggi saat perpisahan.
Sulit menenangkan diri setelah reuni.
Dapat menunjukkan kemarahan atau ketegangan terhadap pengasuh.
d. Disorganized Attachment (Keterikatan Tidak Terorganisir)
Anak dengan keterikatan ini menunjukkan perilaku yang membingungkan dan tidak konsisten. Mereka mungkin ingin mendekati pengasuh, tetapi juga tampak bingung atau takut, sering kali karena pengalaman traumatis atau tidak dapat diprediksi dari pengasuh yang membuat anak merasa tidak aman. Tipe ini sering kali dikaitkan dengan pengasuh yang menunjukkan perilaku tidak konsisten, seperti pengasuh yang terlalu agresif atau terlalu tidak hadir secara emosional.
Ciri-ciri anak dengan keterikatan terorganisir:
Menunjukkan perilaku kontradiktif dan kebingungan.
Tidak dapat merespons dengan cara yang jelas terhadap perpisahan atau reuni.
3. Implikasi Teori Attachment
Teori attachment Bowlby dan Ainsworth memiliki implikasi yang mendalam dalam berbagai aspek kehidupan. Beberapa di antaranya adalah:
Perkembangan emosional dan sosial anak: Anak-anak dengan keterikatan aman cenderung lebih percaya diri, lebih mampu mengelola stres, dan memiliki hubungan sosial yang lebih baik di kemudian hari.
Pentingnya pengasuhan yang responsif: Keterikatan yang sehat berkembang ketika pengasuh responsif terhadap kebutuhan emosional dan fisik anak, memberikan rasa aman dan stabilitas.
Dampak pada hubungan dewasa: Teori ini juga menunjukkan bahwa pola attachment yang terbentuk di masa kanak-kanak dapat mempengaruhi cara seseorang berhubungan dengan orang lain di masa dewasa. Misalnya, seseorang yang tumbuh dengan keterikatan aman mungkin lebih mampu membangun hubungan yang sehat dan stabil di kemudian hari, sementara seseorang dengan keterikatan tidak aman mungkin mengalami kesulitan dalam hubungan interpersonal.
Teori ini memberi kita pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana hubungan awal dapat membentuk perkembangan emosional dan sosial sepanjang hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H