Mohon tunggu...
TRI WULANDARI
TRI WULANDARI Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

REBAHAN

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Teori emosional intelligence dari Daniel goleman

17 Januari 2025   19:47 Diperbarui: 17 Januari 2025   19:47 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teori kecerdasan emosional (emotional intelligence, EI) yang dikembangkan oleh Daniel Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosional, atau kemampuan untuk mengenali, memahami, mengelola, dan menggunakan emosi baik pada diri sendiri maupun orang lain, memainkan peran yang sangat penting dalam kesuksesan hidup dan kerja seseorang, lebih dari sekadar kecerdasan intelektual (IQ).

Goleman pertama kali mempopulerkan konsep kecerdasan emosional dalam bukunya yang berjudul Emotional Intelligence pada tahun 1995. Dalam buku tersebut, Goleman menjelaskan bahwa kecerdasan emosional terdiri dari lima komponen utama, yang meliputi dua dimensi utama: kecerdasan pribadi (self-related) dan kecerdasan sosial (others-related).

Berikut adalah lima komponen utama dalam teori kecerdasan emosional menurut Goleman:

1. Kesadaran Diri (Self-Awareness)

Kesadaran diri adalah kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi diri sendiri serta pengaruhnya terhadap pikiran dan perilaku. Ini melibatkan pengenalan emosi yang sedang dirasakan dan bagaimana emosi tersebut memengaruhi keputusan dan interaksi dengan orang lain. Orang yang memiliki kesadaran diri yang baik mampu mengetahui kekuatan dan kelemahan mereka, serta memiliki pemahaman yang jelas tentang nilai-nilai dan tujuan hidup mereka.

Contoh dari kesadaran diri adalah ketika seseorang dapat merasakan bahwa ia sedang marah atau cemas, dan mampu memahami penyebab emosi tersebut tanpa terjebak dalamnya.

2. Pengelolaan Diri (Self-Regulation)

Pengelolaan diri adalah kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur emosi serta perilaku diri sendiri dengan cara yang positif, terutama dalam situasi yang penuh tekanan. Orang dengan pengelolaan diri yang baik dapat menahan impuls, berpikir sebelum bertindak, dan tetap tenang dalam situasi sulit. Mereka tidak hanya mengendalikan emosi negatif seperti kemarahan atau frustrasi, tetapi juga dapat mengelola emosi positif seperti kegembiraan atau kebahagiaan agar tetap proporsional dengan konteks.

Contoh pengelolaan diri adalah ketika seseorang merasa marah dalam rapat, tetapi ia mampu tetap tenang dan berbicara dengan hati-hati daripada meledak-ledak.

3. Motivasi (Motivation)

Motivasi dalam konteks kecerdasan emosional adalah dorongan untuk mencapai tujuan dan mempertahankan energi serta semangat meskipun ada hambatan atau tantangan. Orang yang memiliki motivasi tinggi cenderung optimis, berpikiran positif, dan memiliki komitmen yang kuat untuk mencapai tujuan. Mereka tidak mudah menyerah ketika menghadapi kegagalan atau kesulitan, dan mereka memiliki daya tahan emosional untuk terus berusaha.

Contoh motivasi adalah seorang individu yang tetap berusaha keras untuk mencapai tujuan meskipun menghadapi kegagalan berulang kali, dengan tetap fokus pada tujuan jangka panjangnya.

4. Empati (Empathy)

Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain. Empati memungkinkan seseorang untuk mengenali dan merespons perasaan orang lain dengan cara yang sensitif dan tepat. Ini sangat penting dalam hubungan interpersonal, baik di tempat kerja maupun dalam kehidupan pribadi. Orang yang empatik dapat mengidentifikasi kebutuhan orang lain dan memberikan dukungan emosional yang sesuai. Empati bukan hanya tentang memahami perasaan orang lain, tetapi juga tentang meresponsnya dengan cara yang mendukung dan penuh pengertian.

Contoh empati adalah ketika seseorang dapat merasakan kesedihan teman yang kehilangan pekerjaan dan memberikan dukungan moral atau menawarkan bantuan.

5. Keterampilan Sosial (Social Skills)

Keterampilan sosial merujuk pada kemampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan yang sehat, baik secara pribadi maupun profesional. Ini mencakup keterampilan komunikasi, kemampuan untuk bekerja sama dalam tim, menangani konflik, dan mempengaruhi orang lain secara positif. Orang yang memiliki keterampilan sosial yang baik biasanya mampu berkolaborasi dengan orang lain, membangun hubungan yang kuat, serta menyelesaikan perselisihan dengan cara yang konstruktif.

Contoh keterampilan sosial adalah kemampuan seseorang dalam memimpin sebuah tim, bernegosiasi, atau menyelesaikan konflik di tempat kerja dengan cara yang efektif.

Manfaat Kecerdasan Emosional

Teori kecerdasan emosional Goleman menekankan bahwa kecerdasan emosional tidak hanya penting untuk kesuksesan pribadi dan profesional, tetapi juga untuk kesejahteraan mental dan fisik seseorang. Kecerdasan emosional yang baik dapat membantu seseorang mengatasi stres, membangun hubungan yang lebih baik dengan orang lain, membuat keputusan yang lebih bijaksana, dan meningkatkan kepemimpinan. Beberapa manfaat utama dari kecerdasan emosional adalah:

Peningkatan kinerja kerja: Individu dengan kecerdasan emosional yang tinggi lebih mampu beradaptasi dengan tantangan dan bekerja dalam tim, yang pada gilirannya meningkatkan kinerja mereka di tempat kerja.

Kemampuan kepemimpinan yang lebih baik: Pemimpin dengan kecerdasan emosional yang baik dapat memotivasi tim mereka, menyelesaikan konflik, dan menciptakan lingkungan kerja yang harmonis.

Relasi yang lebih baik: Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi lebih mampu membangun hubungan yang positif dengan orang lain, yang penting baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional.

Kesejahteraan emosional: Mengelola emosi dengan baik dapat membantu seseorang mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan emosional.

Kritis terhadap Teori Goleman

Walaupun banyak yang memuji teori kecerdasan emosional Goleman, ada juga beberapa kritik yang diutarakan oleh para ilmuwan dan peneliti lain. Salah satunya adalah bahwa kecerdasan emosional sering kali dianggap sebagai konsep yang terlalu luas dan terlalu banyak mencakup aspek-aspek yang tidak selalu dapat diukur secara objektif. Beberapa kritikus juga berpendapat bahwa teori ini cenderung lebih fokus pada aspek pribadi dan sosial daripada aspek kognitif, yang juga penting dalam proses pengambilan keputusan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun