Mohon tunggu...
Tri Wardati
Tri Wardati Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang tidak ingin berhenti belajar

Saya adalah guru SMK mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris dan sedang belajar tentang harmoni kehidupan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Perpustakaan, Bagaimana Menghidupkanmu?

28 November 2020   00:15 Diperbarui: 28 November 2020   00:20 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dimana-mana kita jumpai perpustakaan sangat sepi pengunjung apalagi di era pandemi Covid-19 ini, perpustakaan utamanya perpustakaan sekolah termasuk tempat yang dilarang dibuka karena bisa menimbulkan kerumunan. Tidak dilarangpun, tempat ini tetap sepi pengunjung. 

Pernah suatu saat, saya sebagai guru kunjung di suatu sekolah negeri yang besar, saya mendapati perpustakaan dengan buku-buku yang berdebu dan saat istirahat tidak ada satu muridpun yang berkunjung. 

Suatu saat yang lain, saya mengunjungi perpustakaan di kota kabupaten kami ketika jam makan siang, di situpun hanya saya yang berkunjung padahal perpustakaan itu sangat megah dan bahan bacaannya sangat bervariasi.

Belum ada satu tahun, saat saya harus mengajarkan News Item (salah satu materi pelajaran bahasa Inggris SMK Kelas XII), saya menyuruh murid-murid untuk mencari berita berkenaan dengan perpustakaan sekolah kami. 

Dari hasil wawancara dengan petugas perpustakaan dan observasi lingkungan perpustakaan, murid-murid mendapatkan berita bahwa perpustakaan hanya dikunjungi apabila ada guru yang menyuruh murid mengambil buku paket ataupun pendamping pelajaran. Tidak ada murid yang duduk manis di situ membaca buku. Mungkin tidak hanya saya yang menemui hal semacam itu.

Ya, handphone-lah yang telah menggantikan perpustakaan. Alat canggih ini sebenarnya tidak hanya mengambil alih perpustakaan, tapi hampir semua segi kehidupan baik akademis maupun non akademis. Karena handphone inilah perpustakaan yang dulu menjadi tempat favorit anak-anak pintar, sekarang menjadikannya seperti gudang. Bagaimana mengatasi ini?

Ketika saya mengikuti kuliah online di salah satu universitas di Amerika, kami mendapatkan tugas membaca karya-karya penulis ternama. Salah satunya adalah Neil Gaiman, seorang sastrawan dari Inggris. 

Dalam tulisannya di The Guardian, yang berjudul "Why our future depends on libraries, reading and daydreaming", ia menyebutkan betapa pentingnya perpustakaan dan anak-anak yang membaca demi masa depan yang gemilang. Membiarkan anak-anak membaca bacaan yang mereka sukai di tempat yang nyaman adalah kunci keberhasilan suatu masyarakat.

Ia mengatakan bahwa ini bukan satu lawan satu: Anda tidak bisa mengatakan bahwa masyarakat yang melek huruf tidak memiliki kriminalitas. Tetapi ada korelasi yang sangat nyata. Ada korelasi yang paling sederhana, berasal dari sesuatu yang sangat sederhana. Orang yang terpelajar membaca fiksi. 

Ketika kami disuruh berdiskusi oleh dosen kami mengenai tulisan Neil Gaiman tersebut, saya dibuat kaget oleh seorang mahasiswa yang berasal dari Swedia dan tinggal di Inggris. 

Dia mengatakan bahwa semenjak lahir anaknya sudah harus didaftarkan sebagai anggota perpustakaan yang otomatis akan memiliki kartu perpustakaan tersebut. Ketika dia bekerja, dia menitipkan anaknya yang masih seumuran 10 tahun sepulang sekolah untuk tinggal di perpustakaan sebagai tempat ternyamannya. 

Di sana, ia membaca buku-buku yang ia sukai saja dan teman saya membiarkannya. Yang paling menginspirasi lagi buat saya adalah, di sekolah tempat anak-anaknya mencari ilmu, tidak ada PR (Pekerjaan Rumah) kecuali membaca.

Saya sebagai guru merasa tertohok. Bagaimana negara sebesar Inggris yang jauh lebih maju dari kita masih menghargai perpustakaan di tengah membanjirnya penggunaan handphone seperti di negara kita? Bagaimana membiasakan anak-anak, murid-murid kita gemar membaca kalau mereka dijejali dengan PR yang tidak mengakomodasi imajinasi mereka?

Perpustakaan harus dihidupkan untuk membentuk karakter murid yang siap menghadapi Revolusi Industri 4.0 dimana tantangan buat mereka tidak hanya robot atau mesin, tapi juga karakter. 

Murid-murid yang berkarakter kritis, kreatif dan inovatif tidak akan dihasilkan tanpa perpustakaan. Dengan bacaan-bacan fiksi, para murid akan terasah pola rasa dan pikirnya untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan bermartabat.

Sudah menjadi kebenaran umum bahwa siapapun kita tidak akan bisa menulis tanpa membaca. Menulis dengan baik dan menarik hanya dihasilkan oleh aktivitas membaca yang banyak. 

Awal ketika saya mengikuti kuliah di universitas online ini, saya kaget karena sistemnya adalah membaca minimal 10 artikel atau jurnal yang cukup panjang-panjang dalam satu minggu harus selesai kemudian dibuat bahan diskusi dimana kami disuruh memilih salah satu bacaan yang disukai atau tidak disukai dan menyertakan alasan mengapa kami menyukai atau tidak menyukai bacaan yang kami pilih. 

Dari diskusi itulah, saya banyak bertukar pikiran dan belajar dari teman-teman yang berasal dari berbagai negara. Di sini, saya merasa begitu pentingnya aktivitas membaca dan berdiskusi. 

Kedua kegiatan itu pasti memberi pencerahan. Demikian juga apabila hal itu benar-benar diterapkan di sekolah-sekolah kita. Tidak ada PR kecuali membaca, tidak ada tugas yang membuat ketagihan kecuali diskusi.

Sebenarnya pemerintah kita telah cukup memberi ruang untuk pembelian buku-buku baik fiksi maupun non fiksi untuk perpustakaan. Kini tinggal tugas guru untuk menggerakkan murid-murid masuk ke perpustakaan dan berselancar membaca buku apa saja yang mereka minati. Saya merasa betapa pentingnya peran guru dalam menghidupkan perpustakaan. Hidup matinya perpustakaan tergantung pada guru.

Di masa pandemi Covid-19 ini, justru kesempatan emas bagi guru memanggil para murid secara gelombang untuk meminjam buku yang akan dibaca di rumah. Beri tugas pada mereka untuk membaca yang ringan dulu karena tidak mudah untuk mengesampingkan handphone. 

Kita nasehati mereka bahwa membaca dengan buku fisik jauh lebih nyaman di mata daripada dengan handphone. Tidak lupa kita buat reading camp terdiri dari 5-6 anak per camp melalui group WhatsApp misalnya, untuk mendiskusikan apa yang telah mereka baca. Ini mungkin lebih efektif apabila wali kelas sebagai instruktur programnya sehingga ia bisa lebih memahami murid yang diasuhnya.

Pada akhirnya, saya masih sangat berharap perpustakaan di negeri kita tetap eksis dan berdaya guna. Semua harus berubah dan guru adalah titik pangkal awal perubahan. Perpustakaan hidup, semua gemilang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun