Apa yang terbayang saat saya menuliskan satu nama, Pierluigi Collina? Â Wasit, plontos, tegas, adil dan ditakuti hampir semua pemain bola.
Penggemar sepakbola, terutama penggemar serie A Italia pasti kenal sosok Pierluigi Collina. Collina terpilih sebagai wasit terbaik dunia versi IFFHS 6 tahun berturut turut, 1998 hingga 2003.
Puncak kariernya, saat memimpin final piala dunia 2002 antara Brazil vs Jerman. Tapi momen terhebat dari Pierluigi Collina adalah 2 menit terakhir saat Manchester United (MU) berhadapan dengan Bayern  Muenchen di Camp Nou Mei 1999.
Pada saat itu dia seperti melihat wajah asli dari sepakbola, kematian dan kehidupan di satu stadion.
Final Liga Champions 1999 antara MU dan Muenchen tidak akan pernah terlupakan. Saya melihat langsung final itu live di TV nasional dan menjadi salah satu pendukung Manchester United.
Muenchen memimpin lebih dahulu lewat gol Mario Basler dimenit-menit awal pertandingan dan mempertahankan keunggulan sepanjang 90 menit.
Di Bangku cadangan, pemain Muenchen, termasuk sang legenda Lothar Mathaeus sudah bersiap siap merayakan gelar, sebelum akhirnya dua sepak pojok dari David Beckham membantu Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solkjaer mematahkan hati seluruh pemain Muenchen dan pendukungnya.
Saya  melihat, Samuel Kuffour sampai menangis tersedu sedu, sesaat setelah Collina meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan dan fotonya saat menangis menghiasi berbagai media keesokan harinya.
Pierluigi Collina memimpin dengan baik pertandingan itu. Memimpin dengan adil. Kalah dalam pertandingan yang adil tentu bisa diterima dengan legowo oleh semua pihak.