Hari kelima: Glenorchy
Begitu bangun tidur jam 10 pagi, anak-anak ingin kembali bermain di taman yang kami kunjungi kemarin sore. Setelah puas bermain dan makan siang, kami berkendara menuju ke Glenorchy, kota kecil yang terletak di ujung Lake Wakatipu, sekitar 46 km dari Queenstown. Sepanjang jalan ke Glenorchy, anak-anak tidur di bagian belakang mobil. Suasana terasa romantis ketika kami berkendara di tengah hujan gerimis, bunga-bunga liar yang bermekaran di tepi jalan, danau Wakatipu yang memukau, perbukitan yang hijau, dan pegunungan yang agung. Rupanya bukan hanya saya yang merasa bahwa perjalanan dari Queenstown ke Glenorchy adalah perjalan terbaik dalam hidup saya. Beberapa traveler juga tekesan dengan pemandangan spektakuler yang mereka temui di jalur ini. Biasanya, saya sangat anti pegang gadget saat berkendara. Namun kali ini saya tak henti-hentinya memotret. Setiap tikungan, tanjakan, dan turunan yang kami lalui menyuguhkan panorama yang unik, sayang jika tidak diabadikan. Saat melewati Blanket Bay, kami terpesona melihat ratusan domba dan sapi yang tampak sehat, gemuk dan bahagia. Sampai di Glenorchy, kami bersantai di sebuah dermaga kecil sambil menyeruput coklat hangat. Sungguh, kedamaian yang langka saya dapati di Glenorchy. Dari Glenorchy, kami melanjutkan perjalanan ke Paradise. Kembali kami disambut oleh ratusan (mungkin ribuan) hewan ternak yang asyik merumput di padang luas berlatar pegunungan indah. Untuk penggemar berat film The Lord of The Rings wajib mengunjungi lokasi syuting film ini di Glenorchy dan Paradise. Pulang dari Glenorchy, kami menghabiskan sore di sebuah taman bermain di Lake Esplanade.
Hari keenam: Indonesia Festival
Sangat kebetulan, di hari terakhir kami di Queenstown, Indonesia Festival diselenggarakan di kota ini. Kami check out dari penginapan jam 10.30 pagi dan langsung menuju ke festival. Seharian di festival, kami puas ngobrol-ngobrol dengan beberapa mahasiswa dan masyarakat Indonesia yang tinggal di Queenstown, juga menikmati makanan khas Indonesia seperti sate, nasi campur, dan nasi kuning. Setiap pengunjung festival diberi “cendera mata” yang dikemas dalam tas batik yang cantik berisi indomie dan nescafe. Festival dimulai dengan menyanyikan lagu nasional Indonesia dan New Zealand. Rasa syahdu dan rindu melingkupi hati kami setiap kali menyanyikan Indonesia Raya di negeri yang jauh dari kampung halaman. Beberapa acara disuguhkan selama festival, seperti pertunjukan gamelan dan parade batik. Yang mengesankan, ratusan orang yang menghadiri festival ini diberi kesempatan untuk memainkan angklung di bawah panduan seorang instruktur yang didatangkan langsung dari Indonesia. Anak-anak saya senang sekali main angklung. Sebelum festival berakhir jam 4 sore, kami harus buru-buru ke bandara untuk mengejar penerbangan ke Christchurch.
Hari ketujuh: Christchurch
Dalam perjalanan dari bandara ke penginapan, tidak ada kesan khusus yang kami dapatkan. Mungkin karena kami habis berkunjung ke Queenstown yang indah bukan kepalang, panorama kota Christchurch terasa membosankan. Ternyata kami salah. Christchurch tampak cantik jika dilihat dari udara. Kami berkendara 15 menit ke arah Port Hills untuk bisa naik gondola. Di dalam gondola, kami sering berdecak mengagumi pemandangan yang terbentang di bawah. Setelah gondola berhenti di tempat tujuannya (puncak dari gunung Mount Cavendish), kami mendapat bonus pengalaman yang menarik di Time Tunnel dimana kami duduk di kereta mini yang berjalan secara otomatis melewati sebuah lorong. Di dalam Time Tunnel ini kami disuguhi rekonstruksi sejarah Christchurch dan Canterburry yang dimulai sejak 12 juta tahun yang lalu. Sebuah pelajaran sejarah yang menarik dan gratis. Selesai dengan Time Tunnel, kami makan siang di Red Rock Café sambil menikmati indahnya pemandangan yang terbentang di bawah kami: dataran Canterburry Plains, pegunungan Southern Alps, perbukitan Banks Peninsula, danau Lake Ellesmere, beberapa pulau kecil, pelabuhan Lyttleton Harbour, dan Samudra Pasifik.
Hari kedelapan: Christchurch
Terkenal dengan sebutan “garden city”, kami tak ingin melewatkan kesempatan untuk berkunjung ke Christchurch Botanic Gardens. Area seluas 21 hektar ini terbagi dalam beberapa sektor yang ditumbuhi jenis tanaman yang berbeda. Favorit saya adalah Rose Garden dan Maple Border. Berbagai jenis mawar beraneka warna tumbuh di Rose Garden. Berkeliling kebun ini membuat saya dan anak-anak perempuan saya merasa seperti bidadari. Warna daun yang kuning keemasan, merah dan coklat membiaskan nuansa musim gugur di Maple Border. Setelah berjalan-jalan di Garden, kami mengunjungi Canterburry Museum. Kebetulan saat itu bertepatan dengan pameran karya tokoh idola saya: Leonardo Da Vinci. Kami menghabiskan beberapa jam menikmati karya Da Vinci. Tidak hanya lukisan-lukisannya yang menakjubkan, saya kagum dengan kejeniusannya di bidang mekanika dimana dia banyak menghasilkan alat-alat yang terinspirasi dari alam. Ketrampilannya di bidang mekanika ini sangat bermanfaat untuk kepentingan militer. Yang paling menohok saya adalah pengetahuan Da Vinci mengenai anatomi tubuh manusia. Sebagai seorang dokter, saya terpesona dengan keakuratan Da Vinci dalam menggambarkan bagian-bagian tubuh manusia, termasuk sistem saraf dan pembuluh darah yang rumit. Beberapa koleksi lain yang ada di museum ini cukup menarik minat anak-anak, seperti koleksi kostum dan cangkang.
Hari kesembilan: Christchurch
Kami berkeliling kota Christchurch dan mengunjungi beberapa objek wisata seperti Cardboard Cathedral, Quake City, Re:START Mall dan Bridge of Remembrance. Sisa-sisa gempa berkekuatan tinggi yang melanda Christchurch dan Canterburry di tahun 2010 dan 2011 masih tampak di beberapa penjuru kota, namun bisa kami saksikan usaha keras dari pemerintah setempat untuk memulihkan dunia pariwisata. Sore harinya, kami berkunjung ke International Antartic Centre yang berlokasi di dekat bandara Christchurch. Anak-anak sangat senang mendapatkan pengalaman Kutub Selatan disini. Mereka bisa melihat pinguin, merasakan butiran-butiran salju, serta menghadapi Badai Antartika yang disimulasikan dalam sebuah ruangan. Disini tersedia jaket dan alas kaki untuk menahan dinginnya badai salju, jadi tidak perlu repot-repot membawa jaket tebal jika berkunjung ke tempat ini. Perjalanan kami berlanjut te Lyttleton. Karena anak-anak tidur, saya hanya turun sebentar dan mengambil beberapa foto, lalu kembali ke bandara untuk mengejar pesawat ke Auckland.
Hari kesepuluh: Auckland