Dari beberapa artikel dari media cetak maupun media online di atas dapat dikatakan bahwa masalah ketatanegaraan di Indonesia masih sangat banyak, mulai pemberian grasi Presiden hingga munculnya peraturan tentang harus ada perwakilan 30% caleg perempuan yang dianggap peraturan yang terlalu dini dikeluarkan karena tingkat partisipasi perempuan yang masih minim.
Selain itu polemic muncul karena posisi Wakil Menteri dianggap membingungkan karena tidak sesuai konstitusi dan tidak terdapat dalam ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 yang mengatur struktur organisasi kementerian. Disebutkan dalam pasal itu bahwa struktur organisasi kementerian terdiri atas pimpinan, yakni menteri, sekretariat jenderal sebagai pembantu pimpinan, direktur jenderal sebagai pelaksana tugas pokok, dan seterusnya. Walaupun hal ini sudah dibantah Mahkamah Konstitusi dengan mengeluarkan putusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011 yang mempertegas Perpres 60/2012.
Posisi wakil menteri sendiri mucul karena beberapa alas an. Menurut Presiden, terdapat sejumlah Kementrian yang beban tugasnya sangat besar. Presiden mencontohkan Kementrian Keuangan. Menteri Keuangan (Menkeu) menurutnya memiliki beban tugas yang sangat berat dan menghabiskan waktunya dengan DPR untuk membahas soal anggaran. Apalagi Menkeu juga dirasa penting untuk menghadiri sejumlah forum ekonomi internasional.Sejumlah asas kehematan dan kemanfaatan terkait pengangkatan sejumlah Wamen telah menjadi perhatian dalam pertimbangan Presiden mengambil kebijakan pengangkatan sejumlah Wamen. Dengan kata lain pengangkatan beberapa wakil menteri tersebut bertujuan untuk optimalisasi kementrian. Begitulah jika dilihat dari sudut pandang Presiden. Namun masih banyak juga yang menganggap terlalu banyak kelemahan, salah satunya adalah pemborosan anggaran.
Sedangkan dalam masalah lain mengenai keterwakilan perempuan dalam politik, terutama parlemen. Dalam rangka kesetaraan Gender, Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), mengatur bahwa kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di dalam parlemen. Bahkan dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dan Pasal 53 UU mengatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.
Ada yang pro dan ada yang kontra pastinya. Namun ketetapan itu sudah ada sejak awal tahun 2004 lalu, melalui UU No 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang secara khusus termaktub di pasal 65 ayat 1. Aturan ini dianggap masih terlalu premature jika ditetapkan karena tingkat partisipasi kaum perempuan ini masih sangat rendah. Hal inilah yang dianggap menjadi salah satu penyebab makin merosotnya kinerja Parlemen karena parlemen banyak diisi oleh orang ang tidak berkompeten. Memang partai politik dalam proses kaderisasi terkesan asal-asalan untuk memenuhi kuota tersebut dan kebanyakan partai politik hanya mengejar kuantitas dan bukan kualitasnya.
Situasi tersebut diataslah yang dikhawatirkan juga berpengaruh kepada munculnya banyak kebijakan yang akan menibulkan kontroversi dan polemic di masyarakat. Namun tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa kaum perempuan dapat memberkan perubahan pada parlemen dengan mampu melakukan perbaikan kebijakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H