Mohon tunggu...
trecy bedkowska
trecy bedkowska Mohon Tunggu... -

Hai! Senang rasanya bisa menyapa kompasianer lagi setelah sejenak menenggelamkan diri dalam aktivitas lain. Kali ini, saya ingin merasa lebih dekat dengan Kompasianer. Dan mungkin ini akan merubah sedikit format tulisan saya menjadi lebih personal. Enjoy:)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terus Apalagi? (Cont: Bule Vs Perempuan Indonesia)

2 Februari 2010   11:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:07 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagi-lagi, seharusnya saya sedang tenggelam dengan segalal teori dan formula untuk persiapan ujian demografi besok (mana dosennya ganteng lagi), tapi aaargh.....'gentayangan' memang asyik. Akhirnya saya 'nyangkut' di blog.

Ya, gara -gara formula pengukuran populasi dan faktor-faktor dinamika populasi jugalah, saya jadi gatal lagi ingin membahas masalah perkawinan campuran. Kemarin kan kita sudah 'ngalor-ngidul' dengan urusan uang dan seks. Namun ada faktor pendorong lain yang menyebabkan (katakanlah-wanita Indonesia ingin menikah dengan orang asing) dan faktor itu adalah "perbaikan keturunan". Nggak mesti ras putih loh ya, pokoknya "asing" dalam batas geografi. Tapi secara subjektif, ras putih dan Latin rasa-rasanya menjadi prioritas.

Biasanya saya senang membahas masalah ginian dari sudut pandang Antropologi, tapi kali ini saya ingin menyentilnya dari sudut pandang demografi. Baru oktober kemarin ada pembicaraan menarik terjadi seputar masalah perkembangan populasi, pas saya  dan suami serta tim penelitiannya sedang makan makan siang di sebuah klub/lounge Angakatan Udara Belgia. Bersama kami, ada seorang veteran angkatan laut USA yang sedang meneruskan kuliah di salah satu Akademi militer di Brussel. Dia ikut serta menengok eksperimen lapangan yang sedang di lakukan hari itu. Biasalah, kalau  acara fine dining, memang seringkali mengundang pembicaraan yang menyenangkan-selama semua orang cukup tahu diri untuk jaga mulut. Si veteran AL neyeletuk " saya juga keturunan poland-nenek moyang sih" nah salah seorang ilmuwan memberi komentar " Oh...ini menarik sekali, mendengar begitu banyak keturunan orang poland di mana-mana, pasti ada peristiwa bersejarah yang signifikan yang menyebabkan hal itu terjadi". Komentar beliau tajam sebenarnya. Tapi, berhubung yang bicara dan yang mendengar adalah umumnya terdidik (bersama kami ada dekan fakultas akademi militer juga), kita melihatnya melalui sudut pandang dia - peristiwa bersejarah signifikan. Saya hanya tersenyum saja.

Bagi saya yang menikah dengan orang poland, komentar itu bisa menjadi sangat sensitif. Sama sensitifnya bagi masyarakat Polandia lainnya. Orang poland berkulit putih, namun kadang tidak mudah juga mengkalsifikasikan kultur mereka ke kultur 'barat' karena mereka lebih 'slavik'. Di dunia internasional, komunitas poland sering di cibir, terutama karena mereka di anggap pekerja kelas dua  terlebih untuk kekayaan material. Atau karena mungkin mereka bukan orang yang malas (saya serius, untuk etos kerja, jangan macam-macam dengan orang poland-mereka pekerja keras) sehingga mereka tidak anti pekerjaan kasar dan serba bisa.

Ketika saya baru kenal dengan suami saya, teman sekamar saya (orang Indonesia namun lama tinggal di Italia) berkomentar " Jangan menikah dengan orang poland-mereka tidak banyak uang". Saya kaget!. Saya jawab " saya tidak cari uang- lagipula saya yang akan bikin dia kaya raya nantinya-untuk saya" (boleh doonk....a bit reward isn't it?).

Namun mari kembali ke fakor perbaikan keturunan tadi. Saya setuju, gabungan ras melayu dan kaukasoid (Putih) memang menciptakan makhluk -makhluk yang menawan ( yang tak harus jadi celebrity atau artis). Secara demografis, perbaikan keturunan ini sebenarnya bukan di dasari oleh faktor peningkatan kualitas fisik atau penampilan fisik saja, namun seiring dengan peningkatan kualitas genetik juga. Tujuannya tentu saja untuk peningkatan aspek lainnya, seperti taraf hidup ( meliputi kesehatan dan lama hidup). Ini semua terjadi dalam proses bawah sadar manusia yang oleh ilmu pengetahuan seringkali di terjemahkan dalam bentuk formula dan angka.

Sekarang, kita lihat dari pengaruh disiplin lain yang di pinjam juga oleh ilmu demografi untuk menjelaskan fenomena 'mencampur genetik' ini. Yaitu disiplin ilmu biologi, ekonomi dan ilmu sosial. Mengapa si A pilih si B, merupakan permainan 'mate choice' yang terjadi di alam bawah sadar, namun terbentuk atas pengaruh genetik, derajat sosial dan pertimbangan ekonomi. Ini tergantung ybs, mana yang lebih penting dalam hidupnya. Kalau faktor ekonomi lebih penting ( biasanya mereka para shio monyet, tikus, ayam dan ular, mungkin juga babi) akan meletakkan faktor ekonomi sebagai saringan awal. Apabila faktor sosial lainnya lebih penting (misal, status atau jabatan, atau keturunan siapa nih) maka itu yang akan di jadikan patokan dasar (biasanya mereka yang bershio Babi, kerbau, kambing, kelinci, mungkin juga shio anjing). Nah untuk faktor genetik, hm....agak sulit, sebab mereka menerjang semua wilayah sih. Tapi interpretasikan saja demikian, genetik mencakup faktor reproduksi yang sehat-fisik sehat, kualitas intelektual-kepribadian (mungkin para shio kuda, macan, naga atau shio yang cenderung 'free spirit' dan tidak suka di dikte oleh lingkungan) akan lari ke pada pertimbangan ini.

Menariknya, semua faktor adalah saling menentukan. faktor ekonomi (uang) cenderung berkorelasi positif terhadap peningkatan kualitas hidup-fisik sehat-intelektual-status sosial. Kendati tidak semua orang seberuntung itu. Sementara, orang yang dianggap memiliki penampilan fisik yang baik (ini sih lebih antropologi-psikologi) di pandang memiliki karakter yang lebih positif, kualitas intelektual lebih baik. Maksudnya sih lebih ke kesan umum saja, belum tentu prakteknya pada setiap individu begitu adanya. Jadi, sex dan uang sebagai istilah, bisa kita klasifikasikan ke dalam faktor ekonomi dan atau reproduksi (genetik).

Lucunya dengan ovum atau sel telur wanita, semakin seorang lelaki berstatus dan beruang, semakin si ovum memberi signal (melalui sistem kimia/hormon) bahwa dia ingin di buahi oleh sperma si lelaki tersebut. Jadi jangan salahkan si perempuan. Bagaimana dengan lelaki? semakin dia melihat perempuan yang 'menarik' secara visual, yah cantik, seksi, syukur humoris dan cerdas, si sperma langsung kasih signal, 'boleh juga euy!". Mekanisme alam bow.....

Nah, sekarang kembali ke bahasan "Orang Poland" dan hasil percampuran genetik slavik-ras putih. Ada satu masa pada perang dunia ( saya harus cek lagi) orang poland melakukan exodus besar-besaran  karena permintaan entah tenaga kerja atau populasi perempuan dari belahan bumi lain ( Amerika). Di lain pihak, populasi di poland juga menipis seiring dengan konflik sepanjang masa ( habis nggak udah-udah sih perangnya). Jadi memasuki abad 20, poland benar-benar habis di bantai ( orang-orang berkualitas di bidangnya  di habisi oleh berbagai rezim). Tapi, exodus besar-besaran itu mungkin sudah jadi kehendak alam, toh secara genetik akhirnya kualitas - kualitas tersebut masih bisa di turunkan. Ini yang Hitler tidak ingin terjadi. Gen slavik menyebar seperti halnya gen yahudi, maka gen slavik di jadikan urutan kedua setelah yahudi dalam daftar bantai hitler. Sementara gen yang dianggap sederajat oleh hitler hanyalah gen skandinavian. Itu adalah 'korupsi-delusi' ilmu pengetahuan tergelap dan terbesar sepanjang masa oleh Hitler.

Kembali ke perempuan Indonesia. Saya tidak yakin apakah kesan yang saya dapat ini benar atau salah ( silahkan di komentari-syukur kalo ada data statistik) karena saya survey berbagai data statistik untuk perkawinan campuran kok susah bener ( di Indonesia loh).  Perempuan Indonesia menempatkan orang Amerika dan Inggris dalam prioritas tertinggi ( termasuk skandinavia), sementara ras latin, menjadi pilihan berikut. Saya tidak tahu apa alasannya. Jadi seolah-olah ada kesan begini " jangan bangga kalau suami kamu tidak berasal dari golongan prioritas tertinggi' itu tadi. Yah, tapi seperti saya bilang, ini terjadi di alam bawah sadar, tidak ada alat ukurnya tapi bisa di rasakan atau di interpretasikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun