Sejak tahun 2015 saya mulai ngetrip ke gunung–gunung. Adik saya yang terlebih dahulu menyandang predikat “anak gunung” di keluarga sempat meragukan kesanggupan saya karena nihil pengalaman. Yah, apalah saya baru pernah ke Gunung Tangkuban Prahu, hihihi.
Gunung Prau menjadi pengalaman pertama saya. Setelah sibuk dengan pekerjaan dan sama sekali tidak sempat olah raga tau – tau saya sudah dalam perjalanan menuju Dataran Tinggi Dieng. Kami berangkat dari Terminal Kampung Rambutan menaiki bis malam.
Di saat yang lain sudah lelap bermimpi saya masih berjuang untuk tidur. Pagi sekali kami tiba dan menunggu angkutan terakhir ke kaki Gunung Prau. Angin dingin berhembus lembut sesekali. Setelah sampai kami langsung menuju sebuah rumah warga untuk bersih – bersih diri, istirahat sejenak dan mengisi perut.
Selang 3 jam kemudian kami bersiap diri dan berdoa bersama dengan pemilik rumah lalu pamit. Namanya juga pemula ya kaan dan mendadak mendaki, baru juga menaiki beberapa anak tangga menuju pintu pendakian sudah ngos-ngosan napasnya. Dengkul dan paha bawah cepat pegal. Untungnya pemandangannya selama pendakian cukup menyejukkan dan sebentar - sebentar saya dan teman-teman berhenti sekedar merilekskan kedua kaki dan pastinya foto–foto, dong.
Letaknya yang di koordinat 7°11′13″LU 109°55′22″BT membuat Prau berbatasan dengan tiga kabupaten yaitu Kabupaten Batang, Kabupaten Kendal (ga pake Jenner) dan Kabupaten Wonsobo.
Saya lupa saat di ketinggian berapa ratus atau ribu meter kaki saya tetiba tersandung akar pohon dan membuat saya terjungkal. Untung saya gak papa tapi kemudian ada seorang pemuda yang membantu saya berdiri dan teman saya yang memimpin rombongan malah membawakan tas saya. Padahal saya gak apa-apa loh.
Tekstur pendakian Prau banyak debunya, terutama di titik yang mulai terjal. Saya berusaha naik sambil berpegangan apa pun yang bisa dipegang, entah itu akar pohon atau batang pohon. Medan pendakiannya ada kalanya landai dan menanjak, Cuma satu yang konsisten yaitu bedebu. Kebayang kalau hujan turun, licinnya minta ampun deh.
Pemandangan kiri kanannya indah. Saya dan grup sempat menyaksikan matahari terbenam saat masih dalam pendakian. Indah sekali! It felt magical to witness that kind of view. Saat itu dalam hati saya bersyukur sekali diberikan kesempatan, tenaga dan keberanian untuk mewujudkan pendakian ini. Bagi orang lain mungkin pengalaman ini biasa saja, tidak spektakuler. Namun bagi saya, saya percaya tidak semua orang dapat merasakan pengalaman ini.
Rombongan sempat terpisah dan bertemu di area camp. Angin sudah bertiup lebih kencang dan dingin. Saya pun mulai mengenakan jaket yang saya pinjam dari adik saya. Teman–teman cowok mulai mendirikan tenda. Setelah semua siap kami masuk ke tenda masing–masing dan mulai menyiapkan makan malam.
Karena suhu dan angin dingin kami tidak ada yang keluar tenda untuk menikmati langit yang bertabur milyaran bintang, selain untuk buang air kecil di dekat semak–semak. Hihi, jadi pipis sambil liat bintang–bintang dengan takjubnya sambil menahan dingin juga.
Subuh tak kalah dinginnya dengan malam hari. Masih dalam kantuk kami menerobos angin dingin yang bertiup kencang untuk mengejar matahari terbit. Moment yang tak kalah breathtaking-nya. Words just cant explain it.