Gelap malam sudah menelan akal sehat mereka. Ah, tidak.. bukan kegelapan. Botol-botol yang semula penuh kini sudah terguling berserakan. Aku menajamkan pendengaran, riuh rendah suara tawa mereka tak membuyarkan konsentrasiku. Lima ratus kata lagi. Lima ratus.
Merekalah sumber inspirasiku, menemani tiap malamku merajut kata, menyendiri dalam keramaian. Kisah kehidupan mereka lah yang menafkahiku, meski aku yakin tak satupun tokoh utama membacanya. Setidaknya sampai detik ini.
*brak* Sebuah buku teronggok di meja mereka.
“Hey, Don.. kata Nana ada nama-nama kita di majalah ini” ujar Dena si rok hitam.
“Sejak kapan si Nana bisa baca?” balas Dony si jaket hitam yang disambut derai tawa sekelilingnya.
“Serius, ada Donny, Eka, Tia, Dira, Vita, Raka, dan namaku juga” Dina berkilah.
“Ah, kebetulan itu” ujar Tia yang nampak keberatan bulu mata palsu.
pembicaraan beralih ke curahan hati tiap tokoh. Aku menjelma menjadi notulen yang khusyuk merekamnya dalam tulisan. Majalah itu masih tertinggal di meja saat keramaian itu berakhir. Lima ratus kata yang kubutuhkan sudah terpenuhi. Episode terakhir cerita bersambungku siap dikirim ke editor. Tanpa diriku didalamnya, tentunya.
Ditulis pada pertemuan Reading Lights Writer's Circle 17 Maret 2012 dengan tema "keterasingan"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H