Seorang nelayan duduk terdiam, ingatannya melayang pada kejadian dua jam yang lalu. Dini hari di pelabuhan, angin laut bertiup kencang. Kapalnya adalah salah satu dari deretan kapal yang merapat bergantian di dermaga, menurunkan muatan hasil melaut semalam. Riuh rendah anak-anak pengangkut ikan berlarian dengan segulung jaring atau sekeranjang ikan dipunggung mereka.
Nelayan itu menghela nafas, ingatannya melayang lagi pada kejadian satu jam yang lalu. Pelelangan ikan dimulai. Dia dan para nelayan lain berharap cemas, takut jenis ikan yang mereka tangkap sama dengan yang lain. Kecemasan mereka bukan tak beralasan. Bahan bakar kapal kian hari kian mahal, hingga mereka tak bisa melaut terlalu jauh. Mereka tak mau harga ikan turun, hanya karena banyak pasokan. Setiap palu diketuk, tampak jelas tarikan senyum di wajah para tengkulak dan raut wajah sedih para nelayan. Setiap hari selalu begini. Koperasi nelayan tak bisa banyak membantu.
Kini lelang telah usai. Beberapa keranjang ikan miliknya teronggok begitu saja karena tak laku. Dia enggan menjualnya dengan harga murah. Biarlah nanti diasinkan saja, lumayan bisa menaikkan harga jual. Saat dia sedang termenung, muncul semburat cahaya merah di ufuk timur. Jaring-jaring basah yang membentang mulai memantulkan kilauan matahari pagi. Mereka menghentikan aktifitasnya. Satu demi satu wajah para nelayan menengadah ke arah sumber cahaya. Matahari terbit kali ini berbeda, oranye terang bersemburat kemerahan, bulat sempurna tanpa cela. Dalam hati sang nelayan, terucap pinta pada Yang Kuasa, semoga ini pertanda hari baru yang lebih baik.
---------------------------------------------------------------------------------------
Ditulis dalam pertemuan Reading Lights Writers Circle 24 Desember 2011 dengan tema interpretasi lukisan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H