Daun-daun bergemerisik, beterbangan tertiup angin. Salah satunya terbang masuk ke ruang makan kami lewat jendela. Dian terdiam sejenak sebelum menutup jendela lalu melanjutkan aktivitasnya. Empat buah piring terbuka, dengan sendok dan garpu disisi kanan dan kiri. Beberapa kali anak pertamaku itu beranjak ke dapur untuk mengambil hasil masakan, lalu menatanya di tengah meja.
Ama masuk ke ruang makan sambil menyeret boneka panda kesayangannya. Tangan kirinya memegang kaki boneka, membiarkan kepala boneka terseret-seret. Dian menyambut adiknya dengan pelukan, mendudukannya di kursi, menaruh boneka panda di kursiku.
"Tunggu sebentar ya Dik, Kakak panggil Ayah", ujarnya.
Ama mengangguk patuh.
Aku merapat ke dinding dibalik lemari. Ama tak boleh melihatku lagi seperti kemarin. Dia akan rewel dan memintaku untuk pulang. Maaf sayang, Bunda nggak bisa pulang, meskipun sangat ingin.
Dian masuk ke ruangan bersama ayahnya. Sekilas dia melihat ke arah boneka panda, lalu buru-buru mengambil piring didepannya dan menyimpannya di dapur.
"Maaf Ayah, Dian kebiasan menata piring buat berempat." ujarnya sambil menunduk.
Suamiku tersenyum dan mengusap kepala Dian.
Dia berkata, "nggak apa-apa, Sayang. kita semua kangen Bunda. pasti Bunda senang kamu masih siapin piring buat kita."
Mereka mulai berdoa, mengambil nasi dan lauk pauk, lalu mulai makan malam sambil mengobrol. Aku tak dapat menahan diri untuk sedikit bergeser maju untuk melihat wajah mereka. Baru tiga hari sejak pemakamanku, tapi rindu ini sudah tak tertahankan.
Tiba-tiba Ama melihat kearahku dan mata kami bertatapan. "Bundaaaaa!", teriaknya histeris. "Bunda pulang, Ayah. Bunda pulang..".
Secepat kilat aku keluar menembus dinding ruang makan, bersembunyi dibalik pohon sambil melihat kearah jendela. Kulihat bayangan suamiku memeluk Ama yang masih berteriak-teriak memanggilku, sementara bahu Dian terguncang-guncang meskipun dia menangis tanpa suara.
Sudah cukup aku mengacaukan makan malam mereka. Sebaiknya aku cepat-cepat pergi dari sini. Toh cepat atau lambat mereka akan terbiasa tanpa kehadiranku. Kudongakkan kepalaku dan berkata "Aku siap".
Secercah cahaya muncul dari langit. Tubuhku terasa sangat ringan, dan akupun melayang keatas, menuju tempatku yang seharusnya.
---
Ditulis di pertemuan Reading Lights Writers Circle 22 Februari 2014
Tema: what's it feel like to be a ghost
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H