Mohon tunggu...
sisca
sisca Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Phobia Pelayanan Publik

12 Februari 2016   14:10 Diperbarui: 7 Juni 2016   14:58 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah kenapa, sejak saya berumur 17 tahun, sudah punya KTP dan sudah harus urus ini itu sendiri, saya selalu merasa takut jika harus berhubungan dengan yang namanya pelayanan publik. Takut akan dimintai biaya ilegal, takut harus mengikuti proses birokrasi yang bertele tele, takut harus buang waktu lama untuk mengantri tanpa kejelasan sampai takut berhadapan dengan orang orangnya yang kebanyakan masih belum profesional (baca koran sambil kerja, makan sambil kerja, gosip sambil kerja, sampai yang terang terangan kelihatan menerima sogokan).

Dulu waktu saya diwawancara kerja pertama kali, pertanyaan yang diajukan oleh mantan bos saya: "kamukan jurusan administrasi negara, tau dong apa tujuan negara?". So tentu saya bisa jawab: melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam upaya perdamaian dunia. Ok, terus kata dia, kalau kamu ktpnya udah habis masa berlakunya dan kamu datang ke kantor kelurahan atau dukcapil, kamu bilang apa? Saya mau ngurus perpanjangan KTP, pak. Nah itu salah, harusnya kamu bilang, saya mau ktp saya diurus perpanjangannya. (Baru sekarang saya ngerti apa maksud dia).

Misalnya aja kita mau bayar pajak apa aja, kita yang harus proaktif, kita isi formulirnya, kita antri lama lama, kita datengin kantor pelayanannya. Sama sekali tidak ada kemudahan. Yah, meski sudah banyak inovasi di sana sini. Belum lagi di mana2 ada spanduk: kami melindungi anda dari calo. Padahal justru sepertinya para calo itu yang melindungi kita dari segala ketidaknyamanan pelayanan publik.

Saya sudah pernah punya 3 paspor, 2 paspor diproses dengan sistem online. Celakanya, saat mengurus (bukan diuruskan) paspor yang ketiga, sudah bayar biayanya lewat teller salah satu bank, data sudah masuk di sistem dan dapat tanggal untuk foto dan interview, bahkan sudah sampai di kantor imigrasi jam 6.30 pagi (menghindari macet), saat sampai di counter untuk wawancara dan siap difoto disebutkan bahwa data permohonan saya hilang (kena CRM), jadi harus tunggu data ditarik dari pusat. Alhasil saya harus menunggu lebih dari 5 jam. Apes, jatah cuti 1 hari cuma dipakai untuk nunggu gak jelas di kantor imigrasi. Sementara itu saya masih lihat petugas di counter lain dapet uang dari salah satu pemohon paspor dan orang itu bisa melenggang pergi dalam waktu sangat singkat. Kenapa ya, orang yang ingin ambil jalan yang bener malah jadi ribet jalannya. (Tapi lucunya, mba yang urus paspor saya sangat profesional di banding yang lain. Setiap setengah jam dia cek ke bagian IT apakah data saya sudah bisa ditarik. Meski saya sempat marah marah tapi dia tetap tersenyum dan yang penting terus berusaha).

Parahnya lagi, saking keselnya, saya datang ke counter yang ditulisnya sih untuk customer service dan pengaduan masyarakat, buat keluarin unek unek dan kasih masukan. Tapi pas di depan counter saya malah bingung bilang mba saya mau ngadu... (Lucu aja, kayak anak kecil yang suka ngadu). Lalu saya ceritakan kasus saya, berharap bisa disampaikan ke atasannya atau kantor pusat (karena konon katanya masalahnya ada di kantor pusat). Bukannya terwujud tujuan saya, malah cuma bilang, oooo mba kena CRM. (Apa pula CRM, saya baru tahu setelah googling) dan saya disuruh email ke kantor pusat. WHAT????

Yah, itulah wajah pelayanan publik kita saat ini. Masih perpaduan antara sistem lama dan baru, perpaduan antara yang penuh aroma suap dan yang berbasis IT. Tapi karena setengah setengah, lagi lagi masyarakat yang seharusnya menjadi customer pelayan publik yang harus jadi korban. Mungkin kita memang masih harus menunggu lagi beberapa saat untuk bisa menikmati pelayanan publik yang lebih baik.

Oya, terakhir mantan bos saya pernah bilang, kalau di suatu pelayanan publik, tidak ada lagi yang mengadu atau mengeluh, bukan berarti pelayanan publik itu sudah lebih baik. Tapi kemungkinan karena masyarakat sudah apatis, tidak peduli, capek mengeluh dan tidak pernah ada respon.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun