Mohon tunggu...
Trailing Spouse
Trailing Spouse Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Female

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Belanja di Negeri Orang

4 Maret 2014   03:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:16 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tadi, sewaktu sedang bongkar pasang isi lemari pakaian, ketemu beberapa yang bikin terkenang-kenang. Bukan, bukan baju jaman pacaran dulu yang zaman baheula atau pemberian mantan pacar yang sekarang jadi suami, karena toh baju-baju itu udah sejak lima taun terakhir pada gak muat lagi, jadi udah lama disimpan di kotak terpisah.

Yang juga ada kenangannya, mau indah atau tidak, yaitu yang saya dapat di beberapa kota tempat tinggal kami dahulu. Misalnya, kostum yoga saya yang sekarang udah jadi baju tidur. Saya beli 3-4 tahun lalu sewaktu suami masih bertugas di Hong Kong. Belinya bareng teman-teman satu kelas yoga. Saya, seperti biasa, punya dua warna berbeda, belinya habis sebel-sebelan sama yang punya toko sebelah yang judes amat masa barang dagangannya ngga boleh dipegang sama sekali. Kalau mau beli kan kita mau tau seperti apa bahannya, enak gak kira-kira dipakai, adem, atau nyaman juga ngga? Mau diajak berantem juga untuk apa, ngga ada untungnya, tapi saya (dan temen-temen) akhirnya maksa banget borong baju di lapak sebelahnya, buat nunjukin gitu :"rugi deh lo"....

Pengalaman saya disini: 1. Kalau masuk ke butik atau toko-toko 'high-end' (saya bilang masuk ya, bisa hanya lihat-lihat, bukan berarti harus belanja), penjaganya sangat ramah dan membantu, hanya (harga) barangnya yang ngga ramah di kantong 2. Barang-barang di toko-toko 'high street' harganya lebih murah daripada di kota-kota di Asia Tenggara termasuk Jakarta, saya tahu karena sering menemani belanja teman-teman/kerabat dari Indonesia yang berkunjung, mereka bilang begitu. Disini penjaganya sedang-sedang saja, cuek tapi kalo kita tanya sesuatu pasti dilayani. Yang ketiga sebetulnya yang banyak ibu-ibu suka, misalnya di pasar-pasar tertutup atau yang di 'gang-gang' daerah pusat kota Hong Kong ('alley' sebutannya). Barangnya ngikutin mode banget, cocok terutama untuk yang punya anak remaja yang senang gonta ganti mengikuti perkembangan (ibu-ibunya juga sih), murah meriah, tapi ya penjualnya galak dan jutek. Saya pernah terpingkal-pingkal liat muka satu teman saya yang waktu coba menawar dijawab sama penjualnya: "udah, sana nabung dulu". Teman saya tadinya mangkel tapi udahnya dia cekikikan juga, geli.

Di kota tempat tinggal saya sekarang, banyak tenaga kerja dari Indonesia. Kebanyakan pekerja rumah tangga. Jadi kalau belanja di pasar dan ditanya dari mana dan saya menjawab Indonesia, mereka mengira sayapun salah satunya. Untuk saya ngga masalah, profesi tersebut halal toh. Apalagi setelahnya, entah karena iba, seringkali saya dikasih murah tanpa harus menawar. Satu penjual sampai pernah bisik-bisik di telinga saya saking ngga mau terdengar ibu-ibu 'bule' yang juga sedang mau beli. Soalnya dia mau kasih saya harga hanya kurang dari setengahnya. Di tempat lain ada penjual bolak balik tanya meyakinkan apa beneran saya mau beli souvenir pensil yang harga satuannya sekitar 10 ribu rupiah. Saya mau beli 4 untuk oleh-oleh untuk keponakan. Kadang ada yang tersinggung, "emangnya gue gak mampu apa". Tapi kalau saya pikir, mungkin karena para penjual tersebut tahu pendapatan TKI disini seringkali sangat rendah jadi mereka takut  saya ngga sadar pensil tersebut 'mahal'.

Di pusat perbelanjaan, turis dari Indonesia sangat disukai, belanjanya banyak dan ngga rewel, ngga banyak nawar katanya. Dan di area butik-butik merk internasional yang mahal-mahal, orang kita juga banyak dikenal tuh. Salah duanya artis yang 'itu'  dan ibu-ibu yang ah, gak mau masuk ranah politik aah.

Yang mencolok disini, dimana-mana penjaganya (yang mayoritas ramah ciri khas masyarakat Timur Tengah), seringkali mengikuti langkah kita. Kadang ada perasaan terganggu, ngga bebas, atau bisa jadi merasa dicurigai. Tapi mungkin juga karena kultur yang berbeda, dimana pembeli lokal disini terbiasa dilayani dari ujung rambut sampai ujung kaki (lebay mungkin, karena ngga semua jugalah pastinya).

Di beberapa kota di salah satu negara Eropa tempat kami tinggal dulu, penjaganya kurang lebih sama rata. Mau di pasar, butik, pusat perbelanjaan, atau toko-toko lain, penjaganya biasanya selalu menyapa ramah, minimal bilang: "halo, kalau perlu bantuan, saya disini yaa". Udahnya kita bebas lihat ini itu, ngga dikuntit. Saking bebasnya, saya sampai pernah deg-degan karena di sebelah saya terang-terangan seorang bapak-bapak mengambil beberapa botol parfum mahal, dimasukkan ke tas plastik yang dia bawa, dan langsung ngeloyor keluar tanpa membayar. Kebetulan saya sedang berbicara di telfon dengan mertua saya dan beliau langsung menyuruh saya untuk memeriksa tas, khawatir bapak-bapak tersebut tanpa saya sadari memasukkan parfum curian ke dalam tas saya, untuk mengecoh penjaga. Ternyata pernah terjadi cerita semacam itu.

Saya jadi berpikir, apa hanya di Indonesia para penjaga toko harus bertanggung jawab dan 'membayar' barang yang dicuri? Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun