Kantor saya yang dulu terletak di kawasan pemukiman penduduk di Jl. Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, Apabila sore hari suasananya akan terasa hiruk pikuk, khas perkampungan. Anak-anak pulang sekolah, para pekerja kantoran, pedagang asongan, semua nya berseliweran. Saat sore seperti ini satu yang pasti terdengar ketika saya berada di cubicle saya adalah alunan rebab yang dibawakan oleh sekelompok musisi keliling lengkap dengan 1 atau 2 ondel-ondel. Biasanya mereka lewat kantor saya ketika jam 5-an sore, dan suara yang khas yang menyayat-nyayat ini menjadi pertanda buat saya kalo ini sudah waktunya pulang. Kadang kala saya sempat melihat para pemain orkes batawi keliling ini, yang saya kagumi adalah rata-rata pemainnya masih muda belia. Apapun motif mereka, ekonomi atau apapun itu, apa yang mereka lakukan ini patut kita apresiasi dan syukuri. Kita tentu tahu bahwa sekarang ini banyak kesenian tradisional yang dimiliki masyarakat Indonesia makin sepi peminat, terutama dari kalangan muda. Saya sendiri terus terang mengakui kalau saya juga seperti itu. Era globalisasi membuat generasi muda (ya, sekali lagi termasuk saya) lebih menggemari nonton film Hollywood, bermain PS, main ke mall, daripada semisal nonton pertunjukan wayang, bermain enggrang ataupun  pergi ke musium sejarah dan sanggar seni. Sebenarnya bukan sepenuhnya salah mereka juga sih, karena sekarang ini seni ataupun permainan tradisional pun sudah jarang ditampilkan secara masif ditempat yang representatif. Dulu ketika saya masih di Jogja saya masih sempat nonton wayang yang kebetulan diadakan di dekat kosan saya. Tapi itu di Jogja, bagaimana dengan daerah lain? Sepertinya masih sangat kurang jika dibandingkan dengan intensitas pertunjukan musik populer. Kadang kesenian tradisional hanya menjadi konsumsi untuk delegasi negara asing, sebagai bagian dari jamuan kenegaraan atau acara2 seremonial belaka. Di Jakarta ini, setiap melihat orkes betawi beserta ondel-ondel keliling itu saya jadi berfikir bahwa diluar sana masih ada generasi muda kita yang masih peduli akan kesenian tradisional, dan apapun tujuan atau motif mereka, paling tidak mereka membuat salah satu kesenian tradisional kita ini dapat kita dengar atau lihat setiap hari tanpa harus menunggu Jakarta Fair  atau delegasi negara asing tiba dulu, dan sedikit banyak mereka menjaga agar kesenian itu tetap hidup. Jadi, mungkin kalau Anda melihat mereka, tak ada salahnya untuk memberi mereka sedikit recehan Anda, anggap saja kita ikut andil memelihara kesenian tradisional, ya toh?...: D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H