"Untung Bu Nunun tidak diperlakukan seperti pesakitan maling motor. Diarak di depan umum, dipertontonkan mukanya dengan tangan terborgol. Sangat beruntung sekali Bu Nunun itu dan sewajarnya berterima kasih kepada petugas KPK," Nyerocos Bagong dengan nada tinggi. Pak Chandra hanya diam saja.
Tidak mau terpancing ucapan Bagong, Pengacara Nunun coba mencairkan suasana yang semakin menyudutkan dirinya, "Apalagi usia Ibu sudah tua, 61 tahun. Jadi Ibu benar-benar butuh suasana yang rileks."
"Waduh sudah sepuh juga ternyata usia bu Nunun ya? tapi lha kok gak sadar-sadar kalau waktunya sudah semakin dekat menyongsong kematian. Bukannya perbanyak amal shaleh ini malah berbulan-bulan membikin repot orang banyak saja. Membuat banyak orang yang memaki dan sepertinya mendoakan jelek ke bu Nunun," Sindir Bagong. Kali ini pengacara Nunun hanya diam terpaku.
"Hidup ini seperti kita lagi pentas di panggung, membawakan naskah drama dari sutradara. Masih saja neko-neko menzalimi diri sendiri dan orang lain. Pemperturutkan ego dan nafsu keinginan yang bukan haknya. Manusia-manusia pada lupa, kita ini lahir di dunia bukan untuk hidup, namun untuk mati. Masih saja mencoba menipu Sang Hyang  Widhi dengan harta palsu. Saat sudah terpojok lantas buru-buru sembunyi dalam kedok agama." Filsafat Bagong keluar dari mulut ceriwisnya, sekaligus penutup obrolan warung kopi pinggir jalan malam tadi.
Jauh di sana di sebuah sel tahanan meringkuk wanita tua ditemani sosok pria yang masih menampakkan kegagahan masa mudanya. Entah sandiwara apalagi yang akan dilakoni oleh mereka dan dengan setia kita tonton bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H