Mengarungi lorong waktu
Bekasi adalah kota di pinggiran wilayah Metropolitan, yang terkenal dengan sebutan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Sudah wajar, dimana-mana terjadi kemacetan. Mas Rahman tinggal di Perum BJI (Bekasi Jaya Indah), melewati jembatan Patal di Jalan Teluk Buyung, Bekasi Timur, Kota Bekasi dan terusan ke arah Kampung Cerewet. Waktu pagi merupakan waktu yang sangat krodit lalu lintas, terutama di sekitaran palang sepur arah ke Proyek. Alif biasa berjalan kaki dari Proyek menuju ke Perum BJI, ditempuh dengan waktu sekitar dua puluh menit, sudah sampai di halaman rumah Mas Rahman.
Seminggu sudah Alif tinggal di rumah Mas Rahman. Rencananya mau pamitan, dengan alasan mau ke tempat Mas Ihsan, ikut sama Uwak Amin di Jakarta Pusat. Tepatnya di Jalan Cempaka Putih. Mas Ihsan pekerjaannya membantu Uwak Amin, sebagai tenaga serabutan di Kantor Bulog, itupun dikerjakan setiap hari sabtu dan minggu ketika kantor Bulog libur.
Mas Rahman pesan sama Alif. Kalau merantau di kota besar, harus bisa menjaga diri, dan harus bisa mencari peluang pekerjaan apapun, yang penting halal. Tidak boleh melakukan tindakan kriminal, nanti yang susah diri sendiri. Jangan mau di ajak sama orang-orang yang tidak bermoral. Seperti main judi, mabuk-mabukan, menipu orang atau main perempuan. Banyak petuah yang disampaikan Mas Rahman kepada Alif, sebagai rasa tanggungjawab seorang kakak kepada adiknya. Alif manggut-manggut, tanda patuh dengan petuah Mas Rahman, dan berjanji dalam hatinya akan berusaha yang terbaik, untuk bisa menjadi kebanggan bagi keluarga besar Abah Mansyur.
Alif berangkat dari Bekasi menuju Kota Metropolitan, dengan bekal dari Mas Rahman berupa beras, indomie dan uang untuk ongkos ke Cempaka Putih. Di terminal Bekasi, Alif berlari mengejar Bus DAMRI yang akan meninggalkan Terminal bekasi.
“Tunggu-tunggu, Bang Kondektur aku mau naik, jangan berangkat dulu!” teriak Alif. Itulah kebiasan orang-orang di Kota besar mengejar angkot atau bus kota tanpa memperdulikan kondisi di sekitarnya.
“Ayo, ayo, cepat naik. Kaki kanan dulu ya, awas jatuh! Laju Pak Sopir!” kata Kondektur, sambil memberi aba-aba kepada penumpangnya.
“Alhamdulillah, Ya Allah. Engkau telah memberikan semangat pada hamba, untuk beradaptasi dengan orang-orang yang hidup di Kota Besar,” gumam Alif dalam hati, sambil memegang besi yang disediakan, untuk penumpang yang tidak kebagian tempat duduk, termasuk dirinya.
Sebentar lagi bus sampai di Cempaka Putih, dan Kondektur mengingatkan kepada penumpang yang akan turun,
“Cempaka Putih, Cempaka Putih! Ayo siap-siap menuju pintu belakang, turun kaki kiri dulu, kaki kiri dulu!” teriak Bapak Kondektur, dengan semangatnya mengingatkan para penumpang.
Setelah turun dari bus DAMRI, kemudian bergerilya mencari alamat Uwak Amin, dengan alamat yang ada di secarik kertas yang ditulis oleh Mas Rahman ketika saat berpamitan di Bekasi. Dengan modal pengalaman menjadi Ketua Ramaja Musala, dan anggota Pramuka di Sekolah, Alif menelusuri lorong-lorong perkampungan warga yang sangat sempit dan padat penghuninya. Mencari alamat yang dituju, tidak sulit bagi Alif untuk mencari jejak alamat yang di catat di secarik kertas, walaupun dengan keringat yang bercucuran membasahi kaos dan celana jeansnya, disebabkan panasnya udara Jakarta. Akhirnya sampai juga ke alamat yang dituju. Kebetulan hari libur, jadi semuanya berada di rumah. Sambutan Uwak Amin yang luar biasa hangatnya, membuat Alif senang dan betah untuk tinggal di rumah Uwak.