Mohon tunggu...
TotoSofiSimbahwirasapu
TotoSofiSimbahwirasapu Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuluh Agama Islam dan Pengurus Pondok Pesantren

Menyukai tema-tema keluarga, hukum, sosial keagamaan dan kemasyarakatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Benang Kusut Pernikahan Dini

22 Agustus 2024   11:49 Diperbarui: 22 Agustus 2024   11:53 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara masalah pernikahan dini, stunting dan perceraian adalah bagaikan mengurai benang kusut. Disatu sisi kita "seakan-akan" melihat dan tahu ujung pangkal benang tersebut tetapi mengurai agar jelas permasalahan dan penyebabnya adalah bukan hal yang mudah. Untuk saat ini baru dalam tahapam masing-masing pihak merasa mengetahui penyebab dan solusinya tetapi belum bisa dipertemukan guna mendapatkan solusi penanganan terbaik.

Sebagaimana dikatahui bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perkawinan pada 14 Oktober 2019. Undang-undang ini sebelumnya telah disahkan dalam rapat paripurna DPR RI pada 16 September 2019. Salah satu perubahan penting undang-undang ini yaitu pada pasal 7 UU nomor 1 Tahun 2014. Dalam pasal itu disebutkan, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pada UU Nomor 16 Tahun 2019, bunyi pasal ini berubah menjadi, "Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun." Adapun salah satu tjuan diundangkannya regulasi ini adalah guna mencegah terjadinya pernikahan dini yang berimbas pada permasalahan stunting dan perceraian karena belum siap baik secara fisik mental maupun pondasi ekonomi yang mapan.

Pertanyaannya sekarang, apakah setelah munculnya undang-undang tersebut kasus pernikahan dini tidak ada?. Ibarat gunung es, ternyata permasalahan yang muncul dipermukaan belum seberapa dibanding problematika sebenarnya. Ternyata, berbicara pernikahan dini adalah bicara masalah budaya kearifan lokal, pendidikan, ekonomi, keyakinan dan sudut pandang. 

Masalah pernikahan dini adalah berhubungan dengan budaya serta kearifan lokal. Umumnya masyarakat pedesaan memiliki budaya dan kearifan lokal bahwa menolak lamaran adalah "pamali" yang berakibat fatal dikemudian hari bagi putrinya. Ketika seorang gadis dilamar maka berarti sudah dianggap "temuwa" atau siap menikah. Disisi yang lain, ketika seorang gadis dilamar seseorang hal ini merupakan sebuah prestise bagi orang tua dan keluarga gadis.

Pernikahan dini berhubungan dengan tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi pula wawasan dan kesadarannya untuk tidak menikah dini. Rata-rata kasus pernikahan dini yang terjadi adalah berpendidikan SD atau SLTP. Mengapa mereka hanya berpendidikan SD atau SLTP hal ini selain terkait permasalahan ekonomi juga rendahnya pemahaman masyarakat yang menganggap bahwa pendidikan SD atau SLPT sudah lebih dari cukup dan selanjutnya digunakan untuk berlatih usaha ekonomi membantu orang tua atau bekerja mandiri menjadi kuli kepada orang lain atau keluar daerah.

Pernikahan dini berhubungan dengan keyakinan dan sudut pandang. Bukan menjadi hal baru bahwa masih banyak masyarakat yang menjadikan batas usia 19 tahun sebagai tolok ukur kedewasaan seorang calon pengantin. Lebih rumit lagi ketika sudah membawa keyakinan agama menurut sudut pandang masing-masing tentang definisi baligh atau dewasa. Mudahnya akses lolos sidang kurang umur di Pengadilan Agama seakan-akan menjadi "bumerang" bagi Penyuluh Agama dan Penghulu selaku pelaksana di lapangan. Penolakan KUA terhadap para pendaftar kurang umur setelah sebelumnya diberikan bimbingan penyuluhan sekakan-akan hanya dijadikan "batu loncatan" untuk maju proses ke PA. Maka tidak heran, ketika masyarakat datang ke KUA mendafyarkan anaknya yang masih kurang umur ucapannya adalah; "Ngapunten, saya mau minta penolakan!".

Ironis memang. Namun demikian kita tidak boleh berputus asa, bahwa segala permasalahan pasti ada solusinya. Benang kusut permasalahan ini haru segera diurai yaitu dengan cara:

1. Optimalisasi tugas peran dan fungsi edukasi, informasi dan advokasi Penyuluh Agama ketika melakukan bimbingan penyuluhan dan konsultasi di masyarakat khususnya terkait tema pernikahan dan regulasinya.

2. Memberdayakan warga binaan baik masyarakat umum, perangkat desa, pelajar dan tokoh agama sebagai agen perubahan (contoh bagi lingkungannya) dalam pencegahan pernikahan dini.

3. Menyamakan persepsi dan pemahaman antar lembaga terhadap aturan perundang-undangan yang ada guna memberikan wawasan dan edukasi kepada masyarakat khususnya terkait permasalahan pernikahan dini.

4. Selalu meng "upgrade" wawasan dan pengetahuan agar bisa lebih bijaksanan dalam menjawab permasalahan pernikahan dini di masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun