Mohon tunggu...
Toto Soegriwo
Toto Soegriwo Mohon Tunggu... -

Saya suka film. Bergaul dengan orang-orang film karena "kecemplung" dan tak sengaja. Tahun 1988 mulai bekerja di Sekretariat Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI). Pernah bekerja di Radio S 107,9FM (S Radio). Tahun 2004 berkutat di Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) sampai 2011. Saat ini bekerja di Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail (YPPHUI)dan Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI). Sejak tahun 2004 - 2013 menjadi Panitia Festival Film Indonesia (FFI).

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Meningkatkan Kualitas Film, Mengatrol Jumlah Penonton

23 Maret 2015   15:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:12 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_404911" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Shutterstock-Kompas.com"][/caption]

Minimnya jumlah penonton film nasional saat ini, membuat prihatin banyak pihak. Tidak hanya sineas, pengusaha bioskop, bahkan masyarakat itu sendiri.

Menurut Ketua Umum Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) H. Djonny Syafruddin, SH, buruknya kualitas film menjadi penyebab minimnya minat masyarakat untuk menonton film nasional di bioskop. Lebih lanjut Djonny mengatakan, kunci utama untuk meningkatkan animo penonton film adalah kualitas. "Jika film-film Indonesia yang diproduksi berkualitas, meski dari sisi kuantitas tidak terlalu banyak, namun bisa meningkatkan jumlah penonton", lanjut Djonny dalam diskusi bertajuk "MENINGKATKAN MINAT PENONTON FILM NASIONAL" yang berlangsung di Hotel Millenium, Kebon Sirih Jakarta Pusat, Senin, 23 Maret 2015.

1427096227790517423
1427096227790517423

Para pembicara - Ody Mulya Hidayat (Sekjen PPFI), H. Djonny Syafruddin, SH, (Ketua Umum GPBSI) Kemala Atmodjo (Ketua BPI) dan Sendi Sugiharto (APROFI).

Djonny menyebutkan bahwa industri perfilman Indonesia pernah mengalami masa keemasan pada 2008. Pada tahun tersebut tercatat lebih kurang 30 juta penonton menyaksikan film Indonesia. Angka tersebut setara dengan 58% dari total jumlah penonton film, baik film Indonesia maupun film impor. Melesatnya animo penonton, tak lepas dari film berkualitas yang dihasilkan. Sebut saja Ayat-Ayat Cinta karya Hanung Bramantyo dan Laskar Pelangi karya Riri Riza.

Dari situlah, Djonny tidak sependapat dengan wacana yang dilontarkan Ketua Komite Tetap Film KADIN, Rudy Sanyoto. Rudy mengatakan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kualitas film nasional dan jumlah penonton adalah pembatasan film impor.

Djonny menilai bahwa baik film nasional maupun film impor memiliki segmentasi yang berbeda. Artinya, penonton film impor tidak serta merta beralih menonton film Indonesia ketika film impor hilang.

Pembatasan film impor, menurut Djonny akan berdampak buruk. Karena dengan adanya pembatasan dipastikan akan meningkatkan pembajakan film. Peredaran film ilegal akan semakin marak, karena penggemar film impor tentu tetap ingin menonton film-film asing tersebut. Kondisi demikian tentu saja menjadi pasar yang empuk bagi para pembajak. "Jika hal ini terjadi, bukan hanya pengusaha bioskop yang dirugikan, namun juga pemerintah, karena pemerintah tidak akan mendapatkan pajak yang biasanya diperoleh dari masuknya film impor secara legal", katanya.

Kepala Badan Perfilman Indonesia (BPI) Kemala Atmojo juga sependapat. Dia mengatakan, "penyebab rendahnya jumlah penonton film karya sineas Indonesia, antar lain karena banyak film Indonesia yang berkualitas buruk. Artinya, untuk meningkatkan jumlah penonton, jawabannya adalah bikin film yang berkualitas".

Parade film buruk itu telah membuat penonton film Indonesia kapok menyaksikan film-film lainnya. Gara-gara film tak berkualitas tersebut, masyarakat menarik kesimpulan sendiri bahwa seluruh film Indonesia tidak layak ditonton di bioskop. "Pada tahun 2014 misalnya, terdapat 113 judul film yang tayang di bioskop dan lebih dari separohnya memiliki kualitas buruk. Baca judulnya saja kita geleng-gelang", katanya.

Tetapi buruknya kualitas sejumlah film, tidak bisa sepenuhnya dijadikan kambing hitam. Hal lain yang ikut menyumbang adalah tidak tersedianya bioskop di seluruh daerah. Keberadaan bioskop masih terkonsentrasi di kota-kota besar.

Kemala berpendapat, meskipun nantinya banyak bioskop di daerah di bangun, tetap saja masyarakat akan enggan menyisihkan sebagian uangnya untuk membeli tiket bioskop, karena harga tiket bioskop dinilai masih terlalu mahal. Makanya, Kemala mengusulkan agar ke depannya bioskop dibuat secara sederhana dan berbiaya rendah. Dibuat dengan sederhana, karena daya beli di setiap daerah berbeda". tanda Kemala.

Sementara itu, Ody Mulya menyoroti masalah pemutaran film di bioskop. Selama ini, tidak ada film Indonesia yang tidak diputar di bioskop. Ketika film sudah lulus sensor, maka bioskop wajib memutar, agar tidak ada anggapan bahwa bioskop lebih mengutamakan perusahaan-perusahaan film besar. Sedangkan Djonny Syafruddin lebih menekankan bahwa tidak benar bioskop mengutamakan film impor. Dalam UU Perfilman disebutkan bahwa kuota penayangan untuk film nasional adalah 60% dan film impor 40%. Banyak terjadi, film impor jumlah penontonnya masih cukup banyak, terpaksa harus diturunkan karena sudah ada film Indonesia yang harus naik.

Sendi Sugiharto dari APROFI menyebutkan, bahwa memang saat ini tren perfilman dunia pun tidak jauh berbeda dengan apa yang sedang dialami di Indonesia. Di berbagai negara, kecenderungan jumlah penonton menurun hingga 10%, sedangkan produksi film meningkat rata-rata 30%. Sedangkan kelompok umur  yang paling banyak nonton ke bioskop adalah antara 10-29 tahun.

Catherine Keng dari pihak XXI grup yang hadir mengikuti diskusi mengatakan bahwa setiap hari pihaknya banyak sekali menerima permintaan booking jadwal tayang film nasional. Ada beberapa produser yang hanya meminta jadwal tayang, tapi tidak menyertakan judul filmnya. Ini masih terjadi. Lebih lanjut Catherine menegaskan bahwa ketika film nasional jumlah penontonnya sedikit, pihak bioskop XXI tidak langsung menurunkan film tersebut, tetapi mengurangi jumlah layar. Ketika film hasilnya bagus, pihaknya justru menambah jumlah layar. Berbeda dengan film impor, ketika satu hari atau dua hari penontonnya sedikit, maka film akan langsung diturunkan dan diganti. Ini salah satu bentuk komitmen XXI grup untuk kemajuan film nasional. [t.s.]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun