[caption id="attachment_404911" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Shutterstock-Kompas.com"][/caption]
Minimnya jumlah penonton film nasional saat ini, membuat prihatin banyak pihak. Tidak hanya sineas, pengusaha bioskop, bahkan masyarakat itu sendiri.
Menurut Ketua Umum Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) H. Djonny Syafruddin, SH, buruknya kualitas film menjadi penyebab minimnya minat masyarakat untuk menonton film nasional di bioskop. Lebih lanjut Djonny mengatakan, kunci utama untuk meningkatkan animo penonton film adalah kualitas. "Jika film-film Indonesia yang diproduksi berkualitas, meski dari sisi kuantitas tidak terlalu banyak, namun bisa meningkatkan jumlah penonton", lanjut Djonny dalam diskusi bertajuk "MENINGKATKAN MINAT PENONTON FILM NASIONAL" yang berlangsung di Hotel Millenium, Kebon Sirih Jakarta Pusat, Senin, 23 Maret 2015.
Para pembicara - Ody Mulya Hidayat (Sekjen PPFI), H. Djonny Syafruddin, SH, (Ketua Umum GPBSI) Kemala Atmodjo (Ketua BPI) dan Sendi Sugiharto (APROFI).
Djonny menyebutkan bahwa industri perfilman Indonesia pernah mengalami masa keemasan pada 2008. Pada tahun tersebut tercatat lebih kurang 30 juta penonton menyaksikan film Indonesia. Angka tersebut setara dengan 58% dari total jumlah penonton film, baik film Indonesia maupun film impor. Melesatnya animo penonton, tak lepas dari film berkualitas yang dihasilkan. Sebut saja Ayat-Ayat Cinta karya Hanung Bramantyo dan Laskar Pelangi karya Riri Riza.
Dari situlah, Djonny tidak sependapat dengan wacana yang dilontarkan Ketua Komite Tetap Film KADIN, Rudy Sanyoto. Rudy mengatakan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kualitas film nasional dan jumlah penonton adalah pembatasan film impor.
Djonny menilai bahwa baik film nasional maupun film impor memiliki segmentasi yang berbeda. Artinya, penonton film impor tidak serta merta beralih menonton film Indonesia ketika film impor hilang.
Pembatasan film impor, menurut Djonny akan berdampak buruk. Karena dengan adanya pembatasan dipastikan akan meningkatkan pembajakan film. Peredaran film ilegal akan semakin marak, karena penggemar film impor tentu tetap ingin menonton film-film asing tersebut. Kondisi demikian tentu saja menjadi pasar yang empuk bagi para pembajak. "Jika hal ini terjadi, bukan hanya pengusaha bioskop yang dirugikan, namun juga pemerintah, karena pemerintah tidak akan mendapatkan pajak yang biasanya diperoleh dari masuknya film impor secara legal", katanya.
Kepala Badan Perfilman Indonesia (BPI) Kemala Atmojo juga sependapat. Dia mengatakan, "penyebab rendahnya jumlah penonton film karya sineas Indonesia, antar lain karena banyak film Indonesia yang berkualitas buruk. Artinya, untuk meningkatkan jumlah penonton, jawabannya adalah bikin film yang berkualitas".
Parade film buruk itu telah membuat penonton film Indonesia kapok menyaksikan film-film lainnya. Gara-gara film tak berkualitas tersebut, masyarakat menarik kesimpulan sendiri bahwa seluruh film Indonesia tidak layak ditonton di bioskop. "Pada tahun 2014 misalnya, terdapat 113 judul film yang tayang di bioskop dan lebih dari separohnya memiliki kualitas buruk. Baca judulnya saja kita geleng-gelang", katanya.