Anda tidak salah baca. Iya, ini tentang Pelajar Masbuk, bukan Pelajar Mabuk.
Suatu Sabtu beberapa waktu lalu, meski badan terasa belum fit, saya paksakan diri mendampingi istri memenuhi undangan salah seorang pejabat di daerah kami yang punya hajat menikahkan anaknya. Motivasi utama sebenarnya bukan karena ingin bertemu Pak Pejabat itu, tapi lebih karena saya tahu bahwa ada seorang guru saya (beliau mengajari saya citizen journalism) akan ada di sana. Beliau, guru saya itu, ikut menjadi panitia.
Mau bertemu guru sampai segitunya?
Ada ceritanya, sebetulnya.Â
Jadi, ini adalah salah satu hikmah tersembunyi dari adanya pandemi. Bisa belajar (gratis) secara daring. Hemat waktu, hemat ongkos (karena wifi gratis dari pemkot tersedia di sebelah rumah), praktiknya leluasa, ilmunya pun bukan kaleng-kaleng.
Karena belajar secara daring, saya sering mendapat ilmu dari para guru yang tidak pernah saya temui secara langsung, bahkan baru saja saya kenal di forum. Meski demikian interaksi tetap bisa terjalin kuat. Nah, sewaktu ada kesempatan bertemu salah seorang guru secara langsung seperti kesempatan ini, saya merasa perlu-wajib- untuk memanfaatkannya.Â
Saking kepinginnya ketemu, saya tidak mempertimbangkan apakah saya akan bisa mengenalinya nanti. Meski sudah pernah melihat foto-foto beliau di profil WA maupun di IG, tetap saja ada kemungkinan bahwa "aslinya berbeda". Yang lebih tidak saya perhitungkan adalah: apakah beliau akan mengenali saya dari sekian banyak orang!!!
Singkat cerita, sampailah saya di tempat acara. Bagi saya cukup mudah mencari keberadaan beliau, karena ternyata wajahnya tidak berbeda jauh dengan yang pernah saya kenali lewat foto. Beliau berdiri tidak jauh dari deretan meja prasmanan. (Perfect!)
Maka, setelah bersalaman dengan sang Pejabat, pengantin dan orangtuanya, saya segera turun panggung untuk menemui guru saya.
Dengan ceria saya sapa beliau, saya salami lalu saya peluk. Saya sapabeliau dengan panggilan akrab yang biasa saya pakai saat komunikasi daring: "Ndan" (singkatan dari Komandan).Â
Eh, tapi beliau tidak ada tanda-tanda mengenali saya. Sikapnya terhadap saya malah terkesan menghormati. "Silakan, Ustadz." katanya. "Silakan langsung bersantap."
Eh eh eh..., rupanya tampang saya sudah cukup meyakinkan untuk dipanggil Ustadz! (Eh he he... Semoga saja ilmu dan adabnya bisa sesuai.)
Tapi,.... Saya masih penasaran karena Guru tidak juga menampakkan tanda-tanda mengenali saya. Makanya saya tanya beliau lagi sambil mencoba menegaskan kedekatan hubungan kami. "Komandan sudah makan, belum?" tanya saya. "Oh, sudah, Ustadz. Silakan." jawabnya pendek. Gemesh!! Koq tidak juga nyambung, panggilan akrab itu, ya? Apakah bukan cuma saya saja yang memanggil beliau "Komandan"?
Kemudian saya ambil langkah khas saya. Apalagi kalau bukan,... bercanda! Ini, kan sudah jadi trade mark saya. (Agak mengherankan juga sebetulnya, soal trade mark ini. Orang yang belum kenal saya menganggap saya ini orangnya serius. Orang yang sudah kenal dekat dengan saya menganggap saya ini tukang bercanda, tidak bisa serius. Ipar saya saja setiap kali harus mengkonfirmasi berita dari saya kepada anak/istri saya. Khawatir saya sedang bercanda!)
Pokoknya, saya mesti menunjukkan pada Guru bahwa ini saya, yang hadir di hadapan beliau. Maka saya rangkul beliau sambil berbisik. "Ndan, ini cuma disuruh makan aja, kan?" (Saya yakin dalam hatinya kaget dan bertanya-tanya: "Siapa, sih elu?!") Tapi yang keluar darinya hanya konfirmasi, "Iya, Ustadz. Makan aja. Silakan"
Lalu saya katakan lagi, "Yakin ya, Ndan. Cuma makan. Habis itu gak disuruh cuci piring, kan?" saya lepaskan rangkulan saya membiarkan Guru tertawa ngakak. Mudah-mudahan clue tersebut cukup membuat beliau mengenali saya.
Setelah menikmati makanan, saya bersiap pulang (SMP, kan! - Sudah Makan, Pulang -). Kepada istri saya sampaikan bahwa ada satu keinginan saya yang belum kesampaian. Pengen wefie sama Guru. Tidak ada foto bersama pengantin atau orangtuanya yang pejabat tidaklah masalah. Yang penting ada foto dengan Guru.
Segera saja saya temui beliau di depan panggung pelaminan. Saya minta wefie. Tadinya saya pikir beliau akan menolak, tapi ternyata beliau mengabulkan. Mungkin beliau sudah mulai bisa menerka, siapa saya... eh he he...
Sekali Guru, tetaplah Guru...Â
Saya minta wefie dengan posisi kami menghadap ke arah panggung. Beliau memutar posisi kami. "Lebih baik pelaminan jadi latar belakang" begitu katanya. Alhamdulillah... dapat satu lagi pelajaran.Â
Yang dimuat di sini adalah hasil jepretan beliau dengan hp saya. Setelah selesai sekali jepret, saya langsung close dan send ke WA. Padahal beliau sempat meminta saya menunda. "Lah, mau diapain lagi, Ndan?" tanya saya. "Dilurusin dulu, dong" katanya. "Ah, dasar Guru," kata saya membatin, "Pelajaran kayak gak ada habisnya..."Â
Lha, gurunya masih muda?
Iya.... Gak pa pa, kan?
Salah saya sendiri, jadi pelajar kok masbuk!Â
Mestinya belajar sejak dulu, sejak masih muda banget. Dijamin guru-gurunya pasti lebih tua dari kita, eh, saya.Â
Sekarang sih, terima saja apa adanya!
Toh, gurunya tidak pernah mempermasalahkan itu
Toh, ilmu tetap diberikan dan didapatkan.
Toh, kewajiban mencari ilmu telah tertunaikan.
Ayolah, jangan malu jadi pelajar masbuk. Kita bukan belajar mabuk!
Tto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H