Mohon tunggu...
Totok Hartanto
Totok Hartanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Kudu tandang ora kudu kondhang, kepepete kondhang yo kudu tandang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bersiaga Mengelilingi Merapi

13 September 2013   22:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:56 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SLEMAN – Pengalaman terkena dampak erupsi Gunung Merapi berulang kali membuat sejumlah warga yang tinggal di sekeliling gunung menjadi lebih siaga bencana. Merekapun memberdayakan diri dengan membangun kesadarandan kesiapsiagaan terhadap ancaman bencana.Salah satu letusan Merapi yang menyentak kesadaranwarga adalah letusan pada 1994. Waktu itu, 67 warga DusunTurgo, Desa Purwobinangun, Sleman, tewas. Ribuan warga lain mengungsi. “Di pengungsian, warga merasa ada sesuatu yang tidak beres. Warga diwedhuske (diperlakukan seperti kambing), karena makanan saja harus dimasakkan,” ujar Gendon, panggilan akrab Sigit Widdiyanto (40), pegiat Komunitas Pecinta Alam Pemerhati Lingkungan (Kappala), saat ditemui di Pertemuan Perumusan Rencana Strategis dan Pergantian Pengurus Pasag Merapi, Minggu (23/9) di Kaliurang, Sleman, DIY. Letusan itu menyisakan kenangan pahit sekaligus memberikan pelajaran berharga. Setelah melewati masa tanggap darurat, pada 1995 warga mulai membentuk wadah bersama untuk menyikapi ancaman bencana. Keanggotaannya terus meluas hingga menjangkau desa- desa di empat kabupaten yang mengelilingi Merapi. Pada pertemuan di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 5 April 2001, mereka resmi menamakan diri “Paguyuban Sabuk Gunung Merapi” atau Pasag Merapi. Nama ini mengacu pada keberadaan anggota yang mengelilingi Gunung Merapi. “Lantaran melibatkan warga dari empat kabupaten, mulai dari Boyolali, Klaten, Sleman, dan Magelang, kami pun dianggap melingkarkan sabuk pada Gunung Merapi,” jelas Gendon yang selama ini ikut aktif membangun jaringan Pasag Merapi. Beragam pelatihan diadakan guna membangun kesadaran dan kesiagsiagaan warga terhadap ancaman bencana Gunung Merapi. Mereka berupaya semaksimal mungkin mengelola pengetahuan maupun peralatan yang ada untuk tujuan tersebut. Pada erupsi Merapi 2006, semakin banyak anggota Pasag Merapi yang memanfaatkan handy talkie (HT) untuk berkomunikasi. Radio komunitas pun mulai didirikan di empat kabupaten. Pada erupsi 2010, anggota Pasag Merapi aktif mendampingi warga di lingkungannya masing-masing. Sejumlah relawan Pasag Merapi menanam pohon dalam gerakan penghijauan di Kecamatan Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, pada awal 2011 silam. Komunitas yang memiliki anggota di empat kabupaten di sekeliling Gunung Merapi ini aktif membangun gerakan penyadaran dan kesiapsiagaan bencana serta pelestarian lingkungan. Pasag Merapi  kini  merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang mempunyai anggota dari 60 desa di sekeliling Gunung Merapi. Seluruh desa yang masuk di Kawasan Rawan Bencana (KRB) termasuk di dalamnya. Keanggotaannya bersifat cair. Siapapun bisa bergabung selama memiliki kemauan. Koordinasi dengan anggota dilakukan oleh seorang koordinator yang ada di setiap kabupaten.“Kami sebenarnya lebih membangun paseduluran (persaudaraan). Tujuan kami sama, yakni supaya terhindar dari ancaman bahaya Gunung Merapi, serta melestarikan lingkungan gunung tersebut,” kata Purwo Widodo (42), Ketua Umum Pasag Merapi.Anggota Pasag Merapi mayoritas bekerja sebagai petani dan peternak. Merekalah yang mendukung Pasag Merapi sehingga bisa bergerak secara mandiri.“Bahkan untuk menghidupi pertemuan rutin Pasag Merapi setiap dua bulan sekali, kami bergantung pada iuran masing- masing individu,” ungkap lelaki asal Dusun Kemiren, Desa Jumoyo, Magelang ini. Saat ini, Pasag Merapi aktif menjalankan sejumlah kegiatan seperti pembangunan gardu pantau di sejumlah desa, pemberdayaan ekonomi anggota dengan fokus di sektor peternakan, serta memfasilitasi lokakarya pengurangan risiko bencana di berbagai komunitas. Selain aktivitas tersebut, hal pokok yang menjadi perhatian Pasag Merapi adalah membangun gerakan k e s i a p s i a g a a n  te r h a d a p  b e n c a n a , khususnya erupsi Merapi. “Makanya kami berupaya membangun kesadaran soal itu di berbagai komunitas,” tambah Gogon. Kini Pasag Merapi tidak hanya dikenal karena kapasitas anggotanya dalam membangun kesiapsiagaan, tapi juga pengaruhnya dalam penanganan risiko bencana berbasis komunitas di wilayah lain. Komunitas lain seperti Lingkar Menoreh di Kabupaten Kulonprogo, serta komunitas di sekitar kawasan Gunung Kelud, Gunung Bromo, dan Gunung Semeru di Provinsi Jawa Timur juga belajar pada Pasag Merapi. sumber: Layang PRB edisi september-oktober 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun