Mohon tunggu...
dabPigol
dabPigol Mohon Tunggu... Wiraswasta - Nama Panggilan

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mempertanyakan (Kembali) Naskah Akademik dalam RUU Permusikan

15 Februari 2019   23:15 Diperbarui: 16 Februari 2019   04:23 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hukum: entrepreneur.com

Naskah Akademik merupakan konsepsi pengaturan suatu masalah (jenis peraturan perundang-undangan) yang dikaji secara teoritis dan sosiologis,  yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan peraturan perundang-undangan.

Aan Eko Widiarto , menambahkan bahwa kajian teoritik dilakukan untuk mengetahui dasar filosofis, yuridis dan politis yang melatarbelakangi gagasan pokok agar menjadi suatu naskah akademik.  Dasar filosofis sangat penting untuk menghindari pertentangan peraturan perundang-undangan yang disusun dengan nilai-nilai yang hakiki dan luhur ditengah-tengah masyarakat, misalnya nilai etika, adat, agama dan lainnya.  

Pertanyaan yang muncul selaku masyarakat biasa, jika dasar filosofis penulisan naskah akademik suatu rancangan undang-undang dimaksudkan terutama untuk menghindari pertentangan dengan nilai hakiki dan luhur yang berlaku di masyarakat.

Nilai hakiki dan luhur manakah itu?

Seperti dimisalkan di atas, agama dan adat istiadat adalah hal yang sangat penting jadi dasar pertimbangan sebelum memasukkan landasan teori yang melatarbelakangi penyusunan naskah akademik RUU Permusikan.

Karena itu, sangat wajar jika seorang Rara Sekar Larasati  yang notabenenya pekerja musik dan akademisi mempertanyakan banyak hal janggal dalam naskah akademik RUU Permusikan. 

Pertama tentang kapasitas intelektual Ketua Tim Penyusunan RUU, Sali Susiana beserta anggotanya yang diragukan kompetensinya.

Sali boleh jadi memang bukan pemusik atau pekerja musik, tapi penggemar berat musik. Ia, sangat mungkin,  bermusik untuk dinikmati sendiri atau di kalangan terbatas yang tak pernah tersentuh publikasi. Pilihan genre musiknya mungkin juga langka. Misalnya musik klasik yang biasanya cukup eksklusif. 

Meski begitu, tidak berarti bahwa perempuan yang berkonsentrasi di bidang studi kemasyarakatan terutama kasus gender itu tidak paham dengan permusikan. Apalagi jika dikatakan ia buta musik. Mungkin saja Seli punya kemampuan bermain musik yang setara dengan pemusik.

Bahkan, pada kondisi tertentu, ia justru lebih baik dari pada seseorang yang mengaku atau disebut sebagai pemusik profesional.

Untuk hal ini, saya tidak sependapat dengan Rara Sekar Larasati. Bahwa secara formal meski bukan pemusik atau pengajar musik, Seli tentu punya kemampuan akademik. Dapat merumuskan sampai menyimpulkan masalah seperti sarjana atau ilmuwan pada umumnya. Banyak pemusik otodidak yang profesional.

Inti ketidaksetujuan saya pada pandangan Rara Sekar hanya untuk hal ini dan hanya sampai di sini. Bukan masalah pro kontra pendidikan formal dan kemampuan bermusik. Kapasitas dirinya sebagai pemimpin (ketua tim) itu yang lebih relevan untuk dikaji.

Kedua, secara akademik, Rara Sekar menyoroti hal teknikal, sampai hal yang sangat mendasar. Terutama ketidaknyambungan antara gagasan atau latar belakang (logika berpikir) dengan pembahasan (identifikasi masalah dan kerangka teoretik)-nya. Ini soal kaidah dan kadar ilmiah. Banyak pertanyaan dasar yang muncul di sisi kaidah.

Misalnya, tentang batasan genre musik yang secara umum dibedakan jadi dua. Musik modern yang disebut sebagai produk budaya pop (pop culture) dan musik tradisi. Di sini, kejelian "melihat masalah" dan kekuatan analisis ilmiah Rara Sekar sangat layak diapresiasi. 

Sebagaimana masyarakat awam tahu, musik itu dipahami dari sisi hiburan, bagian dari seni dan mungkin baru ke tahap ilmiah. Musik sebagai hiburan jelas diukur dari perasaan suka atau tidak suka.

Pokoknya, kalau enak di kuping dan hati, jalan. Tidak peduli genre, harmonisasi dan banyak hal teknikal maupun kaidah keilmuannya. Bayangkan jika penggemar "koplo" harus mengikuti kaidah keroncong atau klasik. Yang paling asyik jika membahas konsep "metal" yang beragam aliran dan punya penggemar fanatik dalam komunitas penggemar langgam Jawa misalnya. 

Soal isian hukum dalam satu RUU memang seharusnya begitu. Namun, tujuan utama keberadaan hukum adalah menggapai keadilan. Hukum negara punya daya paksa. Harus dipatuhi tanpa kecuali oleh seluruh warganya.

Karena itu, produk hukum harus terbebas dari kepentingan sesaat dan menguntungkan kelompok tertentu yang mengakibatkan kerugian bagi kelompok lain. Proses politik dalam menghadirkan produk hukum berupa Undang-undang itu ibarat jembatan terbuka yang dapat dilalui oleh semua warga negara. 

Jika jembatan itu bernama Badan Keahlian sepatutnya berisi orang-orang berakal sehat dan mumpuni keahliannya. Paling tidak, karena cakupan masalah yang harus ditangani begitu luas, para ahli di badan itu benar-benar mampu berperan sebagai pengarah tujuan mencapai keadilan.

Saya tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya jika Badan Keahlian diisi oleh satu bidang keahlian saja. Naskah akademik boleh jadi hanya sebuah narasi retorika di panggung-panggung kampanye pemilu legislatif yang diisi orjen tunggal dengan para penyanyi yang siap menggoyang birahi. 

Musik boleh dipahami dalam beragam dimensi. Dari dimensi seni mungkin saja membawa nilai-nilai budaya. Bahkan, musik yang acapkali dianggap sebagai bahasa universal bukan lagi milik segolongan orang, Barat atau Timur. Utara dan Selatan semestinya tercakup di dalamnya. 

Memagari budaya dengan aturan hukum yang sangat ketat dan kaku akan berakhir seperti pepatah "pagar makan tanaman". Apalagi sekadar mengejar impian pertama di dunia yang hanya meninggalkan kesan latah dan pongah. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menaikkan derajat permusikan tanah tanpa menerapkan politik belah bambu.

Ada satu pertanyaan konyol seandainya DPR memaksakan dirinya mengesahkan RUU Permusikan. Siapkah penjara di seantero Indonesia menampung para pesakitan akibat pemberlakuannya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun