Mohon tunggu...
dabPigol
dabPigol Mohon Tunggu... Wiraswasta - Nama Panggilan

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kepala BNPB Militer Aktif?

6 Januari 2019   06:44 Diperbarui: 6 Januari 2019   08:05 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Letjen TNI Doni Monardo @wikipedia

Sejak awal pekan (2/1/2018) telah beredar kabar rencana penggantian Kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Saat ini, lembaga pemerintah non kementerian itu  langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Sesuai UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, ada tiga jenis bencana. Yaitu bencana alam, non alam dan sosial. Satu bentuk bencana sosial adalah konflik bersenjata antara warga sipil dan militer (TNI khususnya). 

Oleh karena itu, rencana penggantian Kepala BNPB dari pejabat lama, Laksda TNI (Purn) Willem Rampangilei kepada Letjen TNI Doni Monardo  yang masih aktif dan pernah menjabat sebagai Komandan Pasukan Pengawal Presiden (Danpaspampres) menimbulkan kontroversi publik. Menurut Kepala Bidang Informasi Data dan Humas BNPB , Sutopo Purwo Nugroho yang akrab dipanggil mBah Topo oleh para relawan kebencanaan, faktor administratif  disebut sebagai alasan utama penundaan itu. 

Berdasarkan Peraturan Presiden No 8/2008,  kedudukan BNPB sebagai lembaga pemerintah non departemen atau kementerian bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Mbah Topo menambahkan bahwa faktor administratif itu perlu koreksi Peraturan Presiden. Dan tugas besar dan berat BNPB memerlukan kehadiran sosok pimpinan yang profesional dan kuat.  

" Masyarakat yang tinggal di tempat rawan bencana dengan tingkat mitigasi yang masih sangat minim. Tingkat kesiapsiagaan Pemda juga masih sangat terbatas. Oleh karena itu tugas BNPB sangat berat. Dalam UU, Kepala BNPB haruslah orang yang profesional dan strong leadership. Setiap saat harus siap sedia" . Apakah pemahaman tentang kriteria kepemimpinan yang demikian itu berarti militer aktif? 

Spekulasi tentang hal tersebut sedikit terbuka dari pernyataan Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal TNI (Purn.) Moeldoko tentang kemungkinan pelimpahan wewenang dari Presiden kepada Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) yang saat ini dijabat oleh Jenderal TNI (Purn.) Wiranto. Mantan KSAD yang pendiri Partai Hanura. Spekulasi yang juga mengaitkan taktik politik Jokowi menggandeng TNI untuk memuluskan jalan memenangkan Pilpres 2019 dari pesaingnya, Prabowo Subianto yang mantan jenderal dan disinyalir masih punya pendukung setia di kalangan militer aktif. Atas hal ini, saya cenderung mengabaikan karena tidak tertarik untuk mengupasnya. 

Yang jelas, tugas besar dan berat BNPB memang harus dikelola dengan sistem manajemen memadai. Kepalanya harus punya kapasitas kepemimpinan yang memadai pula. Kriteria pemimpin profesional dan kuat tidak identik dengan militer. Karena tugas utama BNPB tidak hanya tertuju pada bencana alam yang memang harus ditangani secara cepat dan tepat. Di sisi ini, sosok militer mungkin cukup memadai. Tetapi ada tugas dan tanggung jawab yang tidak kurang penting pada upaya penanggulangan bencana non alam. Khususnya bencana sosial semisal pemberontakan atau pertikaian bersenjata antara warga sipil dan militer yang berdampak luas menimbulkan korban jiwa maupun harta benda. 

Peristiwa Nduga yang berujung pada operasi militer apapun sebutannya dan tuntutan penarikan kekuatan militer (TNI/ Polri) dikhawatirkan akan menjadi bencana sosial (kemanusiaan) berdimensi luas yang tidak mungkin diselesaikan dengan pendekatan militeristik. Proses mitigasi atau pengurangan risiko bencana akan berlangsung sangat liat dan harus ditangani ekstra hati-hati. Banyak kepentingan yang ada di dalam pusarannya. Dalam konteks ini, penempatan pucuk pimpinan BNPB dari kalangan militer aktif akan meningkatkan tensi. Inilah yang seharusnya dipertimbangkan dengan saksama. Bahwa tugas, kewajiban dan tanggung jawab BNPB berbeda dari Basarnas (Badan SAR Nasional). Karena itu tidak pada tempatnya mendudukkan kedua lembaga non departemen atau kementerian itu dalam posisi sama.

Sejauh pengetahuan saya yang sangat sempit, pada awal kegiatan setelah menyandang nama BNPB di awal masa pemerintahan Presiden SBY, BPBD sebagai kepanjangan tangan lembaga itu banyak mengadopsi dan merekrut tenaga (sumber daya manusia) dari para sukarelawan PMI. Mulai dari tingkat Kepala Markas dan para personil utama Satgana (Satuan Tugas Penanggulangan Bencana) pasca masa berlakunya Operasi Tanggap Darurat Gempa DI Yogyakarta dan Jateng (2006). Saat itu, PMI boleh disebut sebagai pionir dalam penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud oleh pengertian bencana menurut UU 24/ 2007. Sayangnya, PMI seolah tak berdaya atau justru membiarkan eksodus itu. Apalagi setelah UU itu diberlakukan secara luas, di semua tempat dan lapisan masyarakat seolah mendapat angin segar mendirikan serta melabeli kegiatan partisipasi dalam penanggulangan bencana dengan nama-nama organisasi relawan. Sebenarnya, kecenderungan ini adalah kabar baik dan momentum perbaikan manajemen organisasi di tubuh PMI. 

Kembali ke masalah penunjukan Kepala BNPB dari kalangan militer aktif. Jika dimaksudkan sebagai pengejawantahan makna kepemimpinan yang profesional dan kuat, mungkin sesuai dengan budaya paternalistik kebanyakan bagian dari masyarakat Indonesia. Sekali lagi, harus ditegaskan bahwa hal itu adalah suatu kemungkinan. Bahkan sangat mungkin menjadi suatu keniscayaan. 

Di era sekarang dan ke depannya, kepemimpinan efektif lebih kompleks dari pandangan David Mc Clelland dengan teori motivasinya. Pemimpin yang berkarakter kuat dan profesional tidak hanya berasal dari kalangan militer. Banyak warga sipil yang mampu memenuhi persyaratan itu, tapi mungkin saja tidak mau atau tidak berkesempatan. 

Menunjuk Kepala BNPB dari militer aktif jelas sangat berisiko. Selain dengan sejumlah aturan baku (yang berlaku), banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan dengan sangat saksama. Terutama soal mitigasi dalam pemaknaan ruang yang sangat luas. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun