Jelang ganti warsa, Kompasiana menampilkan suasana berbeda. Tanda utama (icon) itu berkelap kelip laksana bintang di langit dengan angka yang menunjukkan warsa baru. Indah dan mengundang asa. Warsa berikutnya akan memberi sinar terang yang memaknai asa itu. Di tampilan layar kecil ini seolah memanggil namaku, namamu dan kita semua penghuninya Rumah  besar Kompasiana tengah bersuka cita.Â
Hadirkan nuansa beda, sebagian orang menyebutnya dengan resolusi, nampaknya ingin tinggalkan pesan. Bahwa di warsa yang baru itu ada segudang asa. Semoga itu yang saya pahami sebagai langkah menuju ekosistem budaya literasi .
Aku yang bergenre nggilani,  berkaca pada sabda denmase MimYudiarto nan bijaksana bukan seperti yang  ngedab-edabi. Luar biasa baiknya seperti kata Ajinata. Soal nulis, nulis dan nulis tentu maunya begitu. Jangan tanyakan isi, bentuknya saja tidak jelas. Jangan disandingkan dengan Pak- e dokter penyakit dalam, Posma Siahaan, yang senantiasa ringkas, jelas dan berkualitas. Atau ulasan yang renyah dan bergizi tinggi -nya mbak Indria Salim. Keinginan sekelas pendukung garis keras PSSI, Prof. Pebrianov, jelas menggantung di batas cakrawala. Tapi berbuat seperti Desol yang ter-Luka, masih jauh panggang dari apinya. Apalagi mendekati Kang Pepih Nugraha, takut kena KISS-nya.Â
Meski ada dua akun di Kompasiana, satu lama tapi hilang kuncinya dan sangat susah dibuka (sekarang semua lancar). Yang satu lainnya baru belajar pakai ponsel pintar, tapi sama jua ujungnya. Nggilani... Kedua akun yang saya punya, bukan yang ngedab-edabi, luar biasa baiknya seperti kata Ajinata tadi. Isinya tak pernah mengungguli bentuk tulisan yang itu saja. Pongah kelewatan. Atau bersopan-santun seperti saran Himam Miladi.Â