Pada  tulisan pertama sekilas telah digambarkan suasana keterbukaan yang dihadirkan oleh pemilik sekaligus pendiri usaha kecap rumahan, Banyak Mliwis Kebumen, Nyonya Gunawan Sutanto. Beliau banyak memberikan kepercayaan kepada Suheni, sang mandor sekaligus penanggung jawab produksi. Dari lelaki berkumis tebal yang piawai memainkan gitar dan gamelan ini, saya mendapat tambahan cerita soal terjadinya akulturasi rasa khas kecap ini.Â
Kecap adalah produk budaya masyarakat keturunan Tionghoa yang masuk wilayah Nusantara sekira abad 13. Dari proses adaptasi lingkungan yang berlangsung cukup lama, rasa asli kecap yang asin lama kelamaan bersenyawa dengan manisnya gula kelapa berwarna coklat yang disebut juga sebagai gula Jawa.Â
Senyawa atau akulturasi rasa inilah yang dijadikan patokan oleh produsen kecap tradisional BM ini. Bahkan, dengan bangga, Nyonya Gunawan memberi contoh cara sederhana melakukan kendali mutu produk. Agar rasa yang disajikan bagi konsumen fanatiknya tetap terjaga.Â
Cukup dengan mengaduk-aduk tingkat kekentalan contoh kecap yang disodorkan Pak Mandor Suheni Heni Jo Jo dalam mangkok kecil. Mengandalkan indera perasa. Inilah nuansa akulturasi yang terus dipertahankan sampai saat ini. Dua induk budaya berpadu dalam cita rasa manis asin khas kecap BM. Hal sama terjadi juga pada keluarga Pak Mandor.
Pengalaman di perantauan dan pendekatan budaya yang dihadirkan oleh Pak Mandor berkumis tebal yang bercita-cita menjadi Kompasianer ini memang sangat unik. Seunik percintaan dirinya dengan sang istri, Aying. Pemain Bridge yang agak pelupa dan seniman penggerak karawitan ini memiliki segudang ide kreatif yang tersendat oleh waktu di antara gunungan kedelai hitam dan gula Jawa buatan masyarakat di bibir pantai Samudera Hindia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H