Mohon tunggu...
dabPigol
dabPigol Mohon Tunggu... Wiraswasta - Nama Panggilan

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama FEATURED

OTT KPK di Kemenpora dan Dampaknya bagi Prestasi Olahraga Tanah Air

20 Desember 2018   01:50 Diperbarui: 19 September 2019   12:19 1822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber foto: inews.id/istimewa)

Di penghujung tahun 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Kali ke-29 ini, KPK menyasar Kemenpora (Kementerian Pemuda dan Olahraga) yang beberapa bulan sebelumnya dipuja-puji atas keberhasilan menyelenggarakan dua ajang olahraga terbesar di Benua Asia: Asian Games (AG) dan Asian Para Games 2018. 

Di ajang AG, pujian datang dari segenap penjuru tanah air dan masyarakat olahraga internasional.

Selain Presiden Jokowi yang memujinya sebagai lompatan prestasi, tak kurang juga, pujian datang dari Presiden IOC yang menyatakan bahwa Indonesia pantas mengajukan diri sebagai kandidat tuan rumah Olimpiade 2032. Hal senada juga disampaikan oleh Presiden Dewan Olimpiade Asia (OCA). 

Selain itu, AG 2018 di Jakarta dan Palembang juga menampilkan sejumlah drama. Anthony Ginting di lapangan Istora yang telah dirombak jadi sangat modern. Ada pula "pelukan Merah Putih Hanifan" di Padepokan pencaksilat Taman Mini Indonesia Indah yang merengkuh dua kandidat calon presiden RI. 

Yang paling spektakuler tentu upacara pembukaan maupun penutupan pesta olahraga 45 negara atau perwakilan Komite Olahraga Nasional di seluruh Benua Asia yang menyuguhkan beragam atraksi wah.

Para atlet dan pelatih mendapat bonus ratusan juta sampai miliaran rupiah yang diserahkan langsung oleh Presiden Jokowi di Istana Negara sehari setelah upacara penutupan. 

Peristiwa yang disebut-sebut tercepat sepanjang sejarah. Belum lagi bonus yang diberikan kepada individu atau masing-masing tim. Singkatnya, capaian prestasi yang berbunga-bunga.

Namun sangat disayangkan ketika bunga-bunga itu masih tercium wanginya, tiba-tiba menyeruak bau busuk yang sangat menyengat dan menyesakkan dada. Sumbernya justru dari "titik pusat " organisasi yang diberi amanat membina prestasi atlet maupun cabang-cabang olahraga. 

Yaitu Deputi IV Kemenpora Bidang Pembinaan Prestasi dan dua petinggi KONI (Sekjen dan Bendahara Umum) sebagai induk organisasi olahraga nasional.

Peristiwa OTT KPK di Kemenpora terjadi Selasa malam, 18 Desember 2018, sasarannya: dana hibah pembinaan olahraga sebesar Rp 17,9 miliar dari Kemenpora kepada KONI yang terindikasi suap senilai Rp 3,4 miliar (lebih dari 20%). 

Atas peristiwa itu, Imam Nahrawi selaku pimpinan tertinggi di Kemenpora menyatakan di antaranya yaitu:

Kami sangat prihatin, terkejut, kecewa terhadap kejadian yang menimpa semalam terhadap Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi dan beberapa pejabat dan staf.

Boleh saja Menpora, Imam Nahrawi maupun Sekretaris Kemenpora, Gatot Dewo Broto, menyatakan pihaknya merasa prihatin, kecewa dan lain-lain. Tapi KPK yang menurut Wakil Ketuanya, Saur Situmorang, telah mengendus perilaku culas mereka (para tersangka) sebelum pelaksanaan AG 2018. 

Karena alasan nasionalisme, menjaga nama Indonesia agar tidak mendapat malu dari para tamu serta alasan teknis "belum menemukan bukti kuat", OTT KPK baru dilakukan pada akhir tahun ini.

Selain menemukan fakta suap, ada informasi yang berasal dari para pegawai Kemenpora yang belum menerima gaji selama 5 bulan. Temuan tak sengaja ini tentu akan menjadi perhatian tambahan KPK . 

Terungkapnya kasus suap yang mengindikasikan motif kickback atau motif transaksional tentu berdampak besar bagi proses dan program pembinaan atlet dari sejumlah cabang olahraga yang tengah bersiap diri menghadapi dua ajang besar. SEA Games 2019 di Philipina dan Olimpiade 2020 di Jepang. 

Selain itu, seluruh cabang olahraga yang berada dalam lingkup organisasi KONI juga ikut terdampak dengan kadar yang berbeda-beda.

Boleh jadi akan ada reaksi semacam "mosi tidak percaya" kepada KONI dan Kemenpora khususnya dari para atlet serta para pengurus cabang-cabang olahraga. Dengan kemungkinan yang paling masuk akal adalah penolakan atau boikot. 

Hal inilah yang ditakuti oleh para pengurus cabang-cabang olahraga yang sering berjibaku dalam proses pembangunan prestasi atlet. Jika sampai terjadi maka tamatlah riwayat SEA Games 2019 dan Olimpiade 2020.

Harapannya tentu tidak sampai terjadi hal itu. Lalu, kepada siapakah atau lembaga manakah yang dapat dipercaya untuk menggantungkan asa prestasi di puncak tertinggi?

Kemenpora harus bertindak cepat menggandeng tokoh-tokoh olahraga dan masyarakat yang kredibilitasnya telah teruji. Jangan asal comot, apalagi membuat blunder karena pertimbangan lain.

Politik non keolahragaan misalnya. Lengser keprabon buat Menpora dan Sekretarisnya. Serta pembentukan caretakers kepengurusan KONI mungkin salah satu opsi yang harus diputuskan segera, sebelum pergantian tahun oleh Presiden Jokowi. Muaranya adalah mengembalikan kepercayaan publik kepada dua lembaga tadi. 

***
Sumber: Satu , Dua , Tiga 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun