Jogja memang istimewa. Bukan hanya soal pengakuan formal kewilayahan karena pernah menjadi ibukota RI. Atau mitos Nyi Roro Kidul yang punya kedekatan dengan"gejolak" Gunung Merapi. Â Tapi banyak sisi kehidupan masyarakatnya yang layak mendapat predikat istimewa.Â
Di sana, semua suku bangsa di Indonesia ada. Semua sisi kehidupan yang terang benderang semisal Jalan Malioboro dengan segala pernak perniknya. Sejumlah perguruan tinggi yang bersinar atau obyek wisata unik juga tersedia. Sebagaimana kota besar lainnya, Jogja juga punya sisi gelap: premanisme.
Apa yang istimewa dari preman Jogja? Pertengahan dasawarsa seribu sembilan ratus delapan puluhan ada operasi pembersihan preman yang namanya petrus (penembak misterius). Konon yang menjadi alasan utama munculnya operasi itu adalah kondisi premanisme Jogja dan sekitarnya yang dinilai telah kelewat batas. Dan tak tanggung, Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkabtib) turun tangan langsung.Â
Artinya, premanisme di Jogja harus dihadapi dengan super power. Â Meskipun begitu , ternyata tidak mudah menundukkan preman Jogja kala itu. Â Apa sebabnya?
Preman Jogja membawa satu tradisi unik. Yaitu berbaur dengan lingkungan setempat dengan segala sisi atributifnya. Pembauran yang kental dengan nuansa budaya lokal. Paling tidak, Jogja telah membuktikannya. Mereka adalah orang-orang yang cerdas karena mampu mengubah sesuatu yang susah jadi mudah. Menerapkan bahasa sandi berdasarkan tulisan (aksara) Jawa yang cukup sulit pemakaiannya. Jangankan buat suku lain, banyak sekali orang dari suku Jawa yang tidak memahaminya.
Di antaranya itu adalah pentolan preman yang di Jogja disebut gali (gabungan anak liar). Dari cara memilih sebutan atau panggilan saja kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang ingin diakui sebagai kelompok anti kemapanan, tidak berbudaya dan sebagainya.Â
Tapi kenyataannya tidak begitu. Para pemukanya bertutur bahasa halus layaknya "wong njero"Â , sebutan lain buat para penghuni Keraton. Sementara itu, masyarakat awam mengakui Keraton adalah simbol utama kebudayaan. Dengan kata lain, secara budaya, para pemuka preman ingin berada di kasta yang tinggi setara keraton. Mungkin motivasinya membangun keraton menurut versi mereka.
***
Aksara Jawa yang jumlahnya 20 huruf, dibagi sama menjadi dua kelompok. Masing-masing berisi 10 huruf. Kelompok pertama dari huruf ha sampai la.  Kelompok kedua dari huruf pa sampai nga. Aksara yang diciptakan oleh Aji Saka ini mengandung filosofi yang dimaknai berbeda-beda.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H