Puteraku, Agus, adalah teman berbagiku dari sejak tiga puluh tahun yang lalu ketika suamiku meninggalkanku. Berbagi tugas menjaga dan membesarkan tiga adik-adiknya, berbagi tugas mencari tambahan uang untuk kebutuhan rumah tangga, dan sebagainya.
Masih jelas di benakku, dari usia mudanya, saat itu sekitar 8 tahun, setiap aku pulang dari menjahit, kudapati Agus tertidur lelap di samping adik-adiknya. Agus akan selalu bangun jika aku sudah di rumah, tidak pernah ia mengabaikanku. Jika ia belum tidur pastilah ia masih mengayun si bungsu sambil bersenandung. Wajahnya selalu terlihat kelelahan, namun setiap kali ia bertemu denganku ia selalu tersenyum,"Bu, sudah pulang?" Tanyanya. Sehabis menyapaku dan memberikanku segelas teh hangat, kami berdua duduk bersama membicarakan apa yang terjadi di hari itu atau permasalahan apa yang harus kami selesaikan bersama. Â Terkadang ia memijit pundakku jika ia menangkap kelelahanku.
"Ibu, aku akan menikah dengan Mirna. Aku mohon doa restu ibu." Kata Agus suatu hari. Suatu ke-ego-anku muncul meluap-luap. Mulailah aku meratapi nasibku, mengapa semua orang yang hidup denganku harus pergi meninggalkanku? Bapakku meninggalkanku. Suamiku meninggalkanku. Sekarang anak kesayanganku juga akan meninggalkanku? Manakah keadilan hidup ini? Aku menangis tersedu-sedu.
        "Ibu menangis? Apakah ibu tidak setuju aku menikah?" Tanya Agus panik sambil memegang tanganku. Seketika itu juga aku terkejut, ya Tuhan, betapa jahatnya aku sebagai ibu yang tidak rela melihat anakku bahagia dengan hidupnya sendiri. Betapa tololnya aku berpikir bahwa ia akan meninggalkan aku. Bukankah kelak hidupku akan semakin ramai?Â
Dengan menantu baru dan cucu-cucu yang akan hadir di keluarga mereka. Bukankah hidup ini akan menjadi lebih semarak lagi? Mengapa aku begitu naif hendak melarangnya. Segera kuseka airmataku. Aku pernah merampas kebahagiaan Agus, masa kecil dimana ia seharusnya lebih banyak bermain dengan teman-temannya harus digantikan dengan waktu untuk menjaga ketiga adik-adiknya. Puteraku Agus layak mendapatkan kebahagiaan, dia tidak perlu dibebani dengan kecengenganku.
        "Kau anak yang baik, Gus. Kau pantas menjalani hidupmu sendiri dengan bahagia." Kataku sambil memastikan bahwa kalimat itu terdengar benar-benar tulus agar tidak meresahkan Agus.
Itu ijin yang kuberikan padanya sepuluh tahun yang lalu. Kini, aku tinggal bersamanya dengan kehadiran 2 orang cucu dan seorang menantu yang baik. Puteraku Agus seorang pria yang sangat bertanggung jawab, ia bersekolah baik, adik-adiknya bersekolah baik dan kini ia pun mempunyai kehidupan keluarga yang baik. Â
Semua yang ada di dalam penjagaan Agus menjadi baik karena ia menjaga kami semua dengan tulus dan bertanggung jawab. Â Dari puteraku aku belajar bahwa jika seseorang mau menjalani hidupnya dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, maka akan baik pula hasilnya tak peduli betapapun sulitnya keadaan. Hal itu justru kudapatkan dari puteraku, bukan dari ayahku apa lagi dari suamiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H