Banjir bandang merupakan indikasi kerawanan daerah aliran sungai (DAS). Kerawanan DAS semakin besar sehingga banjir bandang berpotensi terus menerjang jika tidak ada solusi yang terintegrasi.
Banjir bandang terus menghantui masyarakat daerah yang memiliki banyak DAS. Kondisinya diperparah oleh kondisi ekosistem DAS yang rusak dan manajemen banjir belum menjadi perhatian serius.
Apalagi morfologi DAS di hulu memiliki sensitivitas aliran air rata-rata sangat tinggi. Akibatnya sungai-sungai kecil atau anak sungai dengan kemiringan yang curam sering terjadi banjir bandang (flash flood) dengan stream power yang besar dan dalam tempo yang relatif singkat.
Kondisinya bertambah buruk karena banjir bandang juga diikuti dengan erosi besar di DAS dan juga sedimentasi yang besar di sistem jaringannya.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) perlu menyiapkan langkah khusus untuk membantu penanganan darurat banjir bandang di berbagai daerah.
Untuk penanganan permanen, dilakukan normalisasi sungai dengan pengerukan, perbaikan alur sungai dan pembuatan tanggul sungai dengan struktur permanen.
Kebijakan pembangunan sungai yang selama ini menekankan aspek hidrologi murni dengan berbagai proyek infrastruktur untuk meluruskan aliran sungai, ternyata kurang efektif untuk mencegah banjir.
Pembangunan sungai yang dijalankan di tanah air selama ini mengalami disorientasi dan dilakukan di tanah air kurang berbasis ekohidrologi.
Pembangunan sungai di negara industri maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan beberapa negara Eropa telah mengalami tiga tahap pengelolaan sungai, yaitu tahap pembangunan sungai (river development), tahap mengalami dan mempelajari dampak pembangunan sungai yang dilakukan sebelumnya (impact of river development) dan tahap restorasi atau renaturalisasi sungai-sungai yang telah dibangun sebelumnya (river restoration).
Metode pembangunan sungai tahap pertama pada umumnya menekankan aspek hidrologi murni, sehingga cenderung mengalami kegagalan dan menimbulkan bencana alam berulang kali.Â