Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Banjir Bandang Akibat Disorientasi Pembangunan Sungai

3 Februari 2025   16:50 Diperbarui: 3 Februari 2025   16:50 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembangunan infrastruktur pengendalian banjir dan rob Sungai Loji dan Sungai Banger di Kota Pekalongan, Jawa Tengah.(Dok. Kementerian PUPR)

Banjir Bandang Akibat Disorientasi Pembangunan Sungai
         
Banjir bandang merupakan indikasi kerawanan daerah aliran sungai (DAS). Kerawanan DAS semakin besar sehingga banjir bandang berpotensi terus menerjang jika tidak ada solusi yang terintegrasi.

Banjir bandang terus menghantui masyarakat daerah yang memiliki banyak DAS. Kondisinya diperparah oleh kondisi ekosistem DAS yang rusak dan manajemen banjir belum menjadi perhatian serius.
Apalagi morfologi DAS di hulu memiliki sensitivitas aliran air rata-rata sangat tinggi. Akibatnya sungai-sungai kecil atau anak sungai dengan kemiringan yang curam sering terjadi banjir bandang (flash flood) dengan stream power yang besar dan dalam tempo yang relatif singkat.
Kondisinya bertambah buruk karena banjir bandang juga diikuti dengan erosi besar di DAS dan juga sedimentasi yang besar di sistem jaringannya.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) perlu menyiapkan langkah khusus untuk membantu penanganan darurat banjir bandang di berbagai daerah.
Untuk penanganan permanen, dilakukan normalisasi sungai dengan pengerukan, perbaikan alur sungai dan pembuatan tanggul sungai dengan struktur permanen.Kebijakan pembangunan sungai yang selama ini menekankan aspek hidrologi murni dengan berbagai proyek infrastruktur untuk meluruskan aliran sungai, ternyata kurang efektif untuk mencegah banjir.Pembangunan sungai yang dijalankan di tanah air selama ini mengalami disorientasi dan dilakukan di tanah air kurang berbasis ekohidrologi.Pembangunan sungai di negara industri maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan beberapa negara Eropa telah mengalami tiga tahap pengelolaan sungai, yaitu tahap pembangunan sungai (river development), tahap mengalami dan mempelajari dampak pembangunan sungai yang dilakukan sebelumnya (impact of river development) dan tahap restorasi atau renaturalisasi sungai-sungai yang telah dibangun sebelumnya (river restoration).
Metode pembangunan sungai tahap pertama pada umumnya menekankan aspek hidrologi murni, sehingga cenderung mengalami kegagalan dan menimbulkan bencana alam berulang kali. Metode ini kurang mempertimbangkan aspek ekologi dan dampak yang akan terjadi setelah pembangunan. Metode ini telah mengubah kenampakan alami dan alur alamiah sungai menjadi buatan yang berbentuk trapesium dengan alur relatif lurus. Sedangkan metode pembangunan pada tahap terakhir bersifat integral yang berbasis ekohidrologi.
Di Indonesia, sebagian besar metode pembangunan sungainya masih menggunakan metode tahap pertama river development yang dikerjakan hanya sepotong-sepotong dan sarat manipulasi. Selain itu pembangunan infrastruktur seperti tanggul sungai konstruksinya kurang berkualitas sehingga mudah jebol lalu menyebabkan banjir.
Pengawasan pembangunan tanggul hingga proyek pengerukan dasar sungai selama ini sangat lemah. Pengerjaan proyek dilakukan asal-asalan sehingga umur bangunan menjadi pendek.
Mestinya para pejabat daerah hingga kepala desa harus mengetahui secara persis kondisi infrastruktur pengairan khususnya tanggul sungai. Pasalnya tanggul sungai saat ini banyak mengandung kerawanan yang bisa mendatangkan malapetaka. Beberapa ruas tanggul sungai perlu segera rekonstruksi agar mampu menahan debit air.
Kasus tanggul jebol mestinya bisa diantisipasi. Pemerintah sering abai terkait Undang-undang No.7 tahun 2004, tentang Sumber Daya Air. Padahal UU diatas menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana  sumber daya air harus berdasarkan norma, standar, pedoman dan manual (NSPM).
Implikasi dari UU diatas adalah semua tanggul sungai harus diperiksa minimal setahun sekali pada akhir musim hujan. Jika terdapat tanggul yang mengalami kerusakan, harus dilakukan survei pengukuran untuk memantau perkembangan kerusakan lalu dilakukan perbaikan.
Kasus tanggul jebol yang menyebabkan bencana banjir semakin parah pada prinsipnya disebabkan oleh proses erosi pada ujung bawah tebing sungai atau toe erosion. Proses penggerowongan akibat tekanan aliran air dan ulah manusia itu menjadi penyebab utama jebolnya tanggul sungai.
Dibutuhkan solusi untuk mencegah proses penggerowongan dengan cara memilih jenis perlindungan tebing yang cocok dengan kondisi alam dan proporsional teknis pengerjaannya. Berkurangnya jumlah pepohonan di sempadan sungai mempercepat proses erosi pada tebing sungai.
Selain itu gangguan pada pepohonan di sepanjang tebing sungai dan pada daerah bantaran berpengaruh pada stabilitas tebing, terutama dalam hal daya tahannya terhadap erosi. Karena secara alamiah akar pepohonan di atas lereng tebing sungai bisa mengikat tanah dan menyatukannya secara vertikal dan horizontal.
Tak bisa dimungkiri pembuatan tanggul selama ini banyak yang asal-asalan dan tidak sesuai dengan standar kualifikasi. Perlu pemeriksaan dan survei infrastruktur pengairan atau bangunan persungaian untuk mengetahui secara detail perubahan karena adanya erosi tebing, endapan sedimen atau adanya kegiatan galian pasir yang cukup besar dan terus menerus.
Dibutuhkan mekanisme dan teknologi pengamanan sungai yang cepat dan tepat jika dalam puncak musim hujan terjadi kondisi inisial yang mengarah kepada jebolnya tanggul.
Perlu waktu yang cepat untuk mengatasi tanggul jebol dengan peralatan khusus dan material siap pakai dan mudah dirakit. Semua itu sebaiknya dibakukan dalam crash manajemen proyek yang mampu mempersingkat durasi penanganan sehingga bisa cepat mengurangi resiko bencana.
Mekanisme cepat di atas ditandai dengan kemampuan untuk membuat konstruksi gabion atau bronjong yang bersifat tepat guna dan siap guna. Dalam kondisi darurat dibutuhkan metode atau teknologi yang bisa membuat bantalan gabion yang mudah diikatkan ke dalam dasar sungai untuk mencegah penggerowongan dalam tempo cepat.
 Selain itu dalam kasus sergapan banjir akibat tebing longsor dan tanggul jebol adalah pentingnya teknologi turap atau bulkhead yang bisa dirakit dan dipasang secara fleksibel. Perlu inovasi teknologi tepat guna dan tepat material dalam pembuatan turap yang mengedepankan penggunaan material lokal yang mampu membentuk dinding kokoh di sepanjang sungai.
Penanganan erosi sungai yang selama ini menggunakan metode konvensional perlu ditransformasikan menjadi metode yang ramah lingkungan yaitu dengan metode bioengineering. Seperti metode Vegetated Rock Gabion, Live Fascine dan Brush Layering. Metode-metode ini mengkombinasikan antara perkuatan akar tanaman dengan konstruksi konvensional yakni bronjong. (TS)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun