Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Urgensi Reforma Agraria BBT untuk Masyarakat Miskin di Pesisir

23 Januari 2025   21:11 Diperbarui: 23 Januari 2025   21:11 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perahu nelayan disandarkan di Dermaga Cipatujah di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

 Urgensi Reforma Agraria BBT untuk Masyarakat Miskin di Pesisir

Modus pengkaplingan ruang laut dengan cara membuat pagar laut hingga sepanjang puluhan kilometer telah menyita perhatian publik. Mafia tanah telah menyasar ruang laut hingga memiliki sertifikat hak guna untuk kegiatan ekonomi dan permukiman mewah.
Disisi lain masyarakat pesisir yang merupakan kantong kemiskinan semakin tidak berdaya mendapatkan tanah untuk rumah dan tempat usahanya. Desa-desa pesisir menjadi kantong kemiskinan di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir Indonesia pada tahun 2022 mencapai 17,74 juta jiwa. Sebanyak 3,9 juta jiwa di antaranya masuk kategori miskin ekstrem. Kemiskinan wilayah pesisir menyumbang 68 persen dari total angka kemiskinan di Indonesia.
Angka kemiskinan ekstrim yang menimpa masyarakat pesisir, utamanya yang berprofesi sebagai nelayan memerlukan peran Badan Bank Tanah (BBT). Antara lain lewat program reforma agraria.

Perlu sinergi antara BBT dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mewujudkan tata kelola wilayah pesisir yang lebih berkeadilan untuk rakyat miskin.

Kasus mafia pagar laut yang terjadi di berbagai daerah, antara lain di Tangerang, Bekasi, dan daerah lain sudah banyak menimbulkan reklamasi dan terbentuknya daratan baru. Meskipun sudah memperoleh sertifikat dari BPN, sebaiknya tanah atau daratan baru hasil reklamasi dan sedimentasi alam tersebut sebaiknya dijadikan objek untuk reforma agraria bagi masyarakat miskin di pesisir.
Langkah KKP yang melakukan penyegelan terhadap pagar laut yang ada di perairan Kabupaten Tangerang dan Bekasi karena tak memiliki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) jangan hanya sekedar seremonial.
Sudah terbukti bahwa mafia pagar laut yang marak di berbagai daerah telah menyengsarakan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Penderitaan nelayan terjadi silih berganti. Setelah tak berdaya dihantam oleh biaya operasional melaut serta masalah BBM, kini juga diterpa cuaca ekstrim yang menyebabkan paceklik masyarakat pesisir.
Kemiskinan ekstrim nelayan bisa diatasi lewat Reforma Agraria.Yakni penataan ulang pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah di wilayah pesisir. Program ini bertujuan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan tanah, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu contoh reforma agraria untuk nelayan telah dilakukan oleh Badan Bank Tanah yang mempersiapkan 1.750 Ha lahan untuk nelayan terdampak pembangunan IKN. Untuk itu BBT relokasi sejumlah nelayan dari kampung nelayan Desa Jenebora, Penajam Paser Utara, yang terdampak pembangunan kawasan pendukung Ibu Kota Negara (IKN).Nelayan yang terdampak pembangunan ekosistem IKN mendapatkan hak relokasi secara gratis dan menempati lahan seluas 1.750 hektare tersebut selama 10 tahun.

Perahu nelayan disandarkan di Dermaga Cipatujah di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)
Perahu nelayan disandarkan di Dermaga Cipatujah di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Sinergi BBT dan Kapabilitas Ditjen KP3K

Urgensi sinergi antara BBT dengan direktorat  Jenderal  Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K). Sinergi difokuskan untuk pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Menurut best practise  menyatakan bahwa Konsep Ekosistem merupakan filosofi dasarnya. Konsep itu telah diadopsi  luas oleh negara-negara anggota  PBB,  khususnya  yang  tergabung  dalam  Small  Islands Development States (SIDS).
Terkait dengan hal diatas adalah UU RI No.27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (sudah mengakomodasi konsep ekosistem).  Pengelolaan  Wilayah  Pesisir  dan  Pulau-Pulau  Kecil  adalah  perencanaan,  pemanfaatan,  pengawasan,  dan  pengendalian  sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antar pemerintah pusat dan daerah, antara ekosistem darat dan  laut, serta antara  ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17 ribu pulau besar dan kecil. Kenyataan juga menunjukkan bahwa 2/3 dari wilayah Indonesia adalah laut. Kondisi ini mengindikasikan bahwa Indonesia adalah bangsa bahari. Sebagai bangsa bahar, masyarakat seharusnya memiliki pemahaman yang memadai terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang merupakan bagian penting dari negara kepulauan.
Dalam Peraturan Presiden No.78/2005 yang diperkuat Undang-Undang Nomor. 27/2007 disebutkan bahwa Indonesia memiliki 92 pulau kecil yang strategis secara posisi maupun fungsi ekonomi. Sementara itu, akses terhadap informasi, terutama menyangkut posisi dan lokasi pulau-pulau kecil tersebut kurang memadai. Pembangunan dan pengusahaan tentu saja sulit dilakukan jika ternyata tidak terjadi pemahamanan yang benar tentang posisi dan kondisi pulau-pulau kecil yang dimaksud. Kurangnya pemahaman ini memicu berbagai kesalahan dalam mengelola dan memperlakukan wilayah Indonesia.
Sengketa batas maritim dan isu kehilangan pulau yang sering terjadi merupakan salah satu indikasi hal ini. Fenomena ini memotivasi perlunya meningkatkan pemahaman atas wilayah Indonesia terutama kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pendekatan geospasial yaitu dengan data dan informasi yang bereferensi bumi dipandang sebagai salah satu langkah efektif dalam meningkatkan pemahaman masyarakat Indonesia.
Berdasarkan karakteristik human system dalam tipologi fishery system terdapat beberapa karakteristik umum dari nelayan (fishers) yaitu bahwa pertama, nelayan berbeda menurut latar belakang sosial seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesivitas dalam komunitas mikro (antar nelayan dalam satu grup) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya).
Kedua, dalam komunitas nelayan komersial, nelayan dapat bervariasi menurut occupational commitment-nya seperti nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan, atau menurut occupational pluralism-nya seperti nelayan dengan spesialisasi tertentu, nelayan dengan sumber pendapatan beragam, dan lain sebagainya. Ketiga, nelayan dapat bervariasi menurut motivasi dan perilaku di mana dalam hal ini terdiri dari dua kelompok yaitu nelayan dengan karakteristik profit-maximizers yaitu nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan cenderung berperilaku seperti layaknya perusahaan, dan kelompok nelayan satisfiers atau nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan penghasilan yang cukup.
Tipologi nelayan seperti yang telah dijelaskan tersebut di atas dapat digunakan sebagai benchmark bagi penentuan pola-pola relokasi dengan skema reforma agraria oleh BBT terhadap nelayan antar wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Hal ini terkait dengan pertanyaan-pertanyaan seperti kelompok nelayan yang mana yang akan direlokasi, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, informasi tentang dinamika sosial ekonomi masyarakat nelayan baik yang akan direlokasi maupun yang akan menjadi tujuan relokasi harus diketahui dengan baik untuk menghindari kemungkinan distorsi dari tujuan relokasi seperti potensi terjadinya konflik baik konflik vertikal maupun horizontal.
Pemberlakuan kebijakan social engineering berupa relokasi nelayan harus memperhatikan lokasi wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Sehingga relokasi nelayan dapat dilakukan dengan prinsip cost effectiveness. Sebagai contoh, kelebihan nelayan di WPP 1 (Selat Malaka) mungkin akan lebih tepat apabila dialihkan ke WPP terdekat yaitu WPP 2 (Laut China Selatan) yang notabene masih relatif dekat dan secara sosial tidak terlalu berbeda. Selain itu, termasuk dalam strategi ini adalah kebijakan transformasi nelayan. Kebijakan ini pada intinya bertujuan untuk memindahkan (transform) mata pencaharian nelayan baik secara vertikal misalnya dari nelayan menjadi pembudidaya ikan, pedagang perikanan atau pengolah ikan, jadi masih tetap dalam koridor sistem perikanan, atau dilakukan secara horizontal yaitu mengalihkan profesi nelayan menjadi kegiatan lain di luar sistem perikanan.

Kapal asing pencuri pasir laut ditangkap berbendera Malaysia diringkus Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP (KOMPAS/PANDU WIYOGA)
Kapal asing pencuri pasir laut ditangkap berbendera Malaysia diringkus Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP (KOMPAS/PANDU WIYOGA)

Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan 

Tingginya tingkat degradasi lingkungan dan kemiskinan di wilayah pesisir merupakan isu utama pembangunan wilayah pesisir. Kondisi tersebut disebabkan karena belum jelasnya sistem perencanaan wilayah pesisir, pesatnya pertumbuhan penduduk, tidak sinkronnya pembangunan antar sektor, tidak serasinya hubungan antar perundang-undangan bagi pemanfaatan sumberdaya pesisir, kurang terkendalinya pemberian izin-izin, implementasi otonomi daerah yang kurang serasi, dan ketidakberdayaan pemerintah/aparatur dalam kegiatan pengendalian.  
Untuk mengatasi masalah diatas diperlukan upaya pengendalian yang sungguh-sungguh terintegrasi, berkesinambungan dengan tata kelola yang baik.
Tantangan dan rintangan bidang pengawasan dan pengendalian (wasdal) sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dijawab dengan strategi yang bisa mentransformasikan program dan kegiatan wasdal secara progresif. Sehingga amanat pokok kegiatan wasdal yang mewujudkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan bisa terlaksana dengan baik. Apalagi, pada saat ini eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan intensitasnya sangat tinggi di seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Antara lain seperti minyak bumi dan gas, perikanan, ekowisata bahari, industri kelautan, bangunan kelautan, angkutan laut, serta jasa kelautan lainnya, termasuk eksploitasi harta karun/ barang berharga asal muatan kapal tenggelam (BMKT). Eksploitasi yang berlebih berdampak pada rusaknya lingkungan. (TS)*
.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun