Belajar dari Kegagalan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di Bandung Raya
Paslon yang mengikuti Pilkada 2024 di Jakarta perlu belajar dari kegagalan pembangunan pembangkit listrik bertenaga sampah di Bandung Raya. Sudah bertahun-tahun Walikota dan Gubernur Jawa Barat, saat itu dijabat oleh Ridwan Kamil belum bisa mewujudkan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sesuai dengan keputusan Presiden sebagai solusi sampah di kota-kota besar.
Meskipun operasional belum optimal, Jakarta, Solo dan Surabaya telah membangun PLTSa. Patut dipelajari instalasi pengolah sampah di kompleks Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo, Solo, Jawa Tengah, Pembangunan PLTSa ini selesai pada tahun 2021 dan mampu mengolah 450 ton sampah per hari untuk menghasilkan listrik sebesar lima Megawatt.
Dalam debat pilkada 2024, para kepala daerah mendatang mesti memiliki cara untuk menyempurnakan dan menambah kapasitas PLTSa. Sedangkan calon kepala daerah di Jabar masih harus bergulat dengan masalah lautan sampah. PLTSa di Bandung Raya mestinya sudah terwujud ketika Ridwan Kamil mengakhiri jabatannya. Namun hingga kini instruksi Presiden tidak mampu diwujudkan, pembangunan PLTSa di Bandung Raya semakin tidak jelas, baik Lokasi maupun teknologinya. Semula pembangkit itu direncanakan di Gedebage, namun kini direncanakan pindah ke TPSA Legok Nangka. Namun di lokasi yang baru ini juga tidak jelas perizinan dan pendanaannya.
Belajar sesuatu jangan hanya dari kondisi yang sudah sukses, paslon Pilkada Jakarta perlu belajar dari kegagalan Ridwan Kamil membangun PLTSa. Karena dengan mengetahui faktor kegagalan itu, maka penanganan sampah dan optimasi pembangkit sampah yang sudah eksis di Jakarta tidak malah menjadi amburadul. Penanganan sampah di Jakarta sudah mengalami transformasi yang lebih baik.
Pilot project Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) TPST Bantargebang dibangun pada tahun 2018 oleh Pusat Teknologi Lingkungan (PTL), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan MoU yang ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta dengan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada 20 Desember 2017, serta perjanjian kerjasama antara Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dengan Direktur Pusat Teknologi Lingkungan tahun 2018 dan tahun 2019 tentang pembangunan pilot project Pengolahan Sampah Proses Termal-PLTSa.
Kota Surabaya merupakan percontohan yang cukup berhasil mewujudkan pengolahan sampah menjadi sumber listrik. Hingga kini, listrik yang dihasilkan di Tempat Pembuangan Akhir Benowo, Surabaya mencapai 2 megawatt (MW) dan akan ditingkatkan menjadi 10 MW. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo memiliki luas 37,4 hektar dan setiap hari menerima sekitar 1.400 ton sampah.
Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Kepres tentang program sampah menjadi listrik untuk tujuh kota di Tanah Air. Kota Bandung dan sekitarnya ( Bandung Raya ) yang termasuk dalam Keppres tersebut hingga kini masih belum membangun infrastruktur pembangkit listrik dari sampah. Berbagai alasan klise telah dikemukakan oleh Walikota dan Gubernur Jawa Barat.Padahal studi banding ke berbagai tempat, seminar dan proposal sudah sering dilakukan.
Pengembangan PLTSa sebenarnya juga bukan hal yang baru. Tahun 1980-an sudah ada studi kelayakan PLTSa untuk Jakarta. Teknologi thermal telah dipilih untuk Intermediate Treatment Facility (ITF) di Sunter, dan proses lelang investasi pun telah dimulai. PLTSa memiliki prospek yang bagus bagi TPST Bantargebang yang berlokasi di Kota Bekasi yang merupakan tempat pembuangan sampah dari Ibukota Jakarta. Dengan produksi sampah yang datang di TPST Bantargebang rata-rata mencapai 6.000-7.000 ton/hari.
Dengan dibangunnya PLTSa di TPST Bantargebang bisa mengurangi dampak dari sampah yang tertimbun. Kini PLTSa Bantargebang memiliki pembangkit listrik dengan kapasitas 15,6 MW dan pada tahun 2017 hanya menghasilkan 250 KW.