Selama ini ekspor bijih besi volumenya tetap tinggi karena grade bijih besi dari bumi Indonesia tidak semua cocok dengan tungku atau kebutuhan industri hulu baja, sehingga harus dilakukan blending atas bijih besi. Inilah yang membuat Krakatau Steel mengimpor seluruh kebutuhan bahan baku iron ore pellet.
Dalam kasus tersebut kebutuhan bahan baku iron ore pellet Krakatau Steel seluruhnya masih diimpor. Namun, jika pabrik baja sistem tanur tinggi (blast furnace) sudah terbangun, maka bijih besi lokal bisa digunakan.
Sekedar catatan, untuk memenuhi kekurangan produksi baja, pabrik baja baru dengan kapasitas 6- 8 juta ton sebaiknya segera dibangun. Dengan demikian pengolahan bijih besi dalam negeri menjadi produk besi spons diharapkan dapat mensubstitusi besi tua sebagai bahan baku pembuatan baja dengan teknologi berbasis EAF.
Saat ini impor besi tua sering bermasalah dengan instansi bea cukai karena dicurigai mengandung bahan B3. Bijih besi Indonesia dikelompokkan menjadi tiga yaitu bijih besi primer (hematit dan magnetit), bijih besi laterit dan pasir besi. Saatnya kegiatan eksplorasi harus digencarkan untuk menjadikan potensi sumber daya (resources) menjadi cadangan (reserves). Karena cadangan bijih besi Indonesia didominasi oleh bijih besi laterit maka teknologi dan jalur proses yang sesuai untuk mengolah bijih besi laterit ini sebaiknya dikaji lebih dalam untuk mendapatkan proses yang optimum dan efisien. Sehingga produk baja yang dihasilkan berkualitas dan mempunyai nilai jual tinggi.
Masalah laten dalam usaha pertambangan di Indonesia adalah belum adanya transparansi usaha dan asas keadilan yang sering dicederai.
Ada beberapa kelemahan yang terkandung dalam UU Minerba yang harus diantisipasi sehingga tidak menjadi persoalan krusial. Dalam penetapan wilayah usaha pertambangan (WUP), kewenangan menetapkan hanya sampai pada level pemerintahan provinsi, sementara pemerintah kabupaten/kota tidak dilibatkan. Hal ini bisa menimbulkan ketegangan di lapangan terkait dengan operasional tambang.
Selain itu pengaturan besarnya luas izin usaha pertambangan (IUP) dengan penetapan minimal 5.000 hektar akan bertentangan dengan kebijakan daerah yang memiliki lahan terbatas. Kewenangan melakukan riset bidang pertambangan juga timpang, karena hanya sampai pada level provinsi.Â
Padahal wilayah usaha pertambangan dan bahan tambang ada pada wilayah kabupaten/kota. Selain itu dengan adanya pengaturan bahwa pemegang IUP dan ijin usaha pertambangan khusus (IUPK) dapat memanfaatkan infrastruktur publik di daerah, seperti jalan, jembatan dan lain-lain untuk keperluan usaha pertambangan.Â
Pasal diatas sangat merugikan masyarakat, sebab dengan dibebaskannya perusahaan tambang dalam mendompleng infrastruktur publik, maka akan memperpendek umur infrastruktur tersebut. Apalagi aktivitas usaha pertambangan menggunakan alat-alat berat. Ironisnya untuk mengatasi kerusakan infrastruktur publik oleh usaha pertambangan biayanya acap kali ditanggung dengan APBD.
Perlu kalkulasi yang tepat terkait ekonomi SDA sebelum dilakukan eksploitasi tambang. Penghitungan itu sebaiknya dilakukan oleh pihak yang independen dan melibatkan pemerintah daerah. Pendekatan valuasi ekonomi total (total economic valuations) dapat dipakai untuk menghitung manfaat ekonomi sumberdaya sebelum adanya kegiatan eksploitasi tambang sebagai basis untuk menentukan peningkatan kesejahteraan masyarakat terkait usaha pertambangan di sekitarnya.
Peta-peta kondisi fisik sumberdaya dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar diperlukan sebagai instrumen penghitungan valuasi ekonomi. Penghitungan valuasi ekonomi harus didasarkan atas kondisi sumberdaya alam pada saat awal atau peta kondisi SDA awal. Teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis, dapat membantu mempercepat proses inventarisasi dan monitoring keberadaan sumberdaya. Perekaman kondisi SDA yang disajikan dalam bentuk peta SDA digital akan memudahkan penyajian perubahan kondisi SDA dari waktu ke waktu. (TS)