Sesar Gasela Menggeliat, Siapkan Mitigasi Gempa DangkalÂ
Rabu pagi yang cerah (18/09 2024). Setelah sarapan, saya merawat tanaman di kebun belakang rumah. Sekitar pukul 09.41 WIB merasakan gempa yang ayunan atau guncangannya cukup kuat dan tidak seperti gempa yang terdahulu, kali ini durasi gempa lebih lama.
Saya langsung menduga bahwa gempa yang getarannya cukup kuat itu terjadi di sekitar wilayah tempat tinggal kami, yakni di Rancaekek Kabupaten Bandung. Dugaan saya sesar Cileunyi yang letaknya di sebelah utara kecamatan tempat tinggal saya sedang menggeliat, ternyata yang menggeliat sesar Gasela ( Garut Selatan ) yang letaknya di sebelah selatan.
Tidak begitu lama informasi tentang episentrum gempa langsung diumumkan. Gempa bumi berkekuatan 5,0 magnitudo menurut data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Dengan episenter gempa bumi terletak pada koordinat 7,23 LS ; 107,65 BT, atau tepatnya berlokasi di darat 25 km tenggara Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada kedalaman 10 km. Permukiman yang dekat dengan episentrum adalah Kampung Neglasari, Desa Cibeureum. Kertasari. Sebanyak 1.007 unit rumah dilaporkan rusak, daerah terparah dilaporkan terjadi di Kabupaten Bandung.
Sesar Garut Selatan, yang dikenal dengan Sesar Gasela, tergolong sesar aktif . Letaknya sangat riskan karena cukup banyak perkampungan. Oleh sebab itu diperlukan mitigasi kegempaan dan edukasi bagi masyarakat agar "akrab" dengan kejadian gempa.
Konkritnya perlu pembangunan infrastruktur yang aman. Memastikan semua bangunan di kawasan rawan gempa memenuhi standar tahan gempa. Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang potensi gempa dan cara menghadapi bencana dengan baik, termasuk pelatihan evakuasi.
Aktivitas sesar Gasela perlu diperhatikan terus menerus dan perlunya menyiapkan mitigasi permukiman penduduk dan bangunan publik. Masyarakat perlu disiapkan secara terus menerus dan sadar akan pentingnya bangunan yang akrab gempa. Perlu dievaluasi kondisi bangunan publik dan rumah-rumah penduduk. Pemerintah daerah diharapkan membangun permukiman dan bangunan publik dengan memperhatikan kaedah bangunan yang akrab atau tahan gempa.
Langkah-langkah mitigasi gempa bumi perlu segera dilakukan. Indeks risiko bencana perlu diturunkan dan kinerja pemerintah daerah terkait bencana harus ditingkatkan. Pada prinsipnya implementasi mitigasi bencana alam khususnya gempa dapat dibagi menjadi dua yaitu mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik. Sedangkan, mitigasi non-struktural antara lain meliputi perencanaan tata ruang yang disesuaikan dengan kerentanan wilayah dan menegakkan peraturan pembangunan.
Mitigasi bencana gempa sangat terkait dengan penataan ruang sebagaimana diamanatkan dalam UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (UUPR) dan juga UU No.24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana merupakan faktor utama dalam mitigasi bencana yang bersifat non struktural. Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa salah satu elemen penting dalam kegiatan mitigasi bencana adalah penyiapan Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota berdimensi mitigasi bencana. UUPR juga telah mengatur bahwa RTRW Kabupaten/Kota harus memuat unsur rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang evakuasi bencana.
Geliat sesar Gasela mesti menyadarkan semua pihak untuk mewujudkan sistem mitigasi cerdas atau smart mitigation yang terintegrasi dengan fasilitas command center milik pemerintah daerah dan fasilitas instansi lainnya. Teknik manajemen atau penanganan bencana saat ini sebagian besar bersifat reaktif.
Perlu sinergi lembaga terkait dengan integrasi sistem mitigasi dan command center. Salah satu lembaga yang sesuai adalah Perusahaan Listrik Negara ( PLN ), karena BUMN ini memiliki jaringan infrastruktur hingga pelosok daerah. Selain itu penggunaan daya listrik merupakan keniscayaan bagi usaha mitigasi bencana maupun penanggulangan bencana saat tanggap darurat maupun tahap rekonstruksi bangunan pasca bencana. PLN juga memiliki platform digital pelanggan listrik yang berbasis data kependudukan dan dan data spasial.
Selain itu PT PLN mampu memasifkan edukasi kepada masyarakat terkait Standard Operational Procedure (SOP) jika terjadi bencana. Hal itu penting bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana penanganan kelistrikan harus dilakukan jika terjadi bencana.
Sistem mitigasi cerdas bertujuan memutakhirkan data sumber daya, kesiapan dan kelayakan sarana dan prasarana, serta menjadi sumber informasi tunggal, juga media edukasi bagi masyarakat dengan sistem early warning system yang dapat menjangkau semua lapisan masyarakat dalam wilayah terkait.
Dalam UU No 23 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, salah satu langkah yang perlu dilakukan untuk pengurangan risiko bencana adalah melalui mitigasi bencana. Diterangkan bahwa mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Salah satu bentuk kegiatan mitigasi bencana menurut pasal 47 ayat 2 (c) adalah melalui pendidikan, penyuluhan dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern. Bahwa untuk mengintegrasikan karakter masyarakat kawasan rawan bencana dengan regulasi pemerintah dalam penanganan bencana, bisa tercapai dengan baik jika kedua belah pihak mampu menciptakan komunikasi kohesif yang menghasilkan pemahaman bersama.
Perlu mengembangkan teknologi kebencanaan dan sistem komunikasi yang membumi sehingga sesuai dengan standar Internasional Surface Artificial Intelligence Communicator (ISACO). Dalam kondisi darurat bencana, komunikasi amat dibutuhkan sebagai fungsi manajemen dan koordinasi antara pemerintah, korban, masyarakat, relawan dan media massa. Manajemen komunikasi krisis yang baik akan membuat fungsi koordinasi dan pengambilan keputusan pemerintah berjalan efektif. Pada sisi korban bencana, penderitaan bisa dikurangi karena bantuan lebih cepat dan mudah diberikan dengan modal informasi yang memadai.
Pemerintah daerah masih lemah dalam penerapan kebijakan standar bangunan tahan gempa. Perubahan mendasar dalam standar baru bangunan tahan gempa pada prinsipnya ada di tingkat kinerja runtuhnya struktur. Kesiapan para praktisi dan pemerintah daerah untuk menghadapi perubahan itu, terutama pada implikasi anggaran pelaksanaan proyek, dan mekanisme pengadaan barang dan jasa belum mampu beradaptasi. Diperparah lagi dengan rendahnya kualitas pendidikan praktisi dan pejabat pemerintah daerah.
Akibatnya, pelaksanaan standar baru terasa lambat diterapkan dan bermasalah bagi keberlanjutan konstruksi gedung.Salah satu contoh, publik melihat bangunan publik seperti sekolah, rumah sakit dan pasar mengalami rusak berat akibat gempa. Idealnya, suatu struktur bangunan publik pasca gempa diharapkan mampu untuk tetap berdiri dan secara fungsional masih bisa digunakan.
Gempa yang terjadi berulang kali, khususnya di Tatar Sunda mestinya menyadarkan perlunya penerapan struktur bangunan publik dan rumah penduduk yang akrab dengan gempa karena mampu mereduksi efeknya. Fakta telah menyebutkan bahwa sebagian besar korban gempa akibat tertimpa material bangunan. Dengan fakta tersebut mau tidak mau kita harus memikirkan solusi teknik bangunan serta mengevaluasi dan memasyarakatkan aspek struktur bangunan di daerah rawan gempa.
Selain itu dibutuhkan teknologi tepat guna yang murah dengan bahan baku lokal yang melimpah guna meminimalkan dampak gempa. Sebenarnya leluhur orang Sunda telah mewariskan kearifan lokal berupa arsitektur bangunan rumah berbahan baku lokal yang bisa mereduksi efek gempa. Kekayaan budaya tersebut perlu diterapkan sesuai dengan perkembangan teknologi. (TS)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI