Pembentukan Zaken Kabinet dan Kursi Panas Menteri ESDM
Pembentukan zaken kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran gampang-gampang susah. Zaken kabinet atau kabinet ahli akan terbentur kepada kepentingan partai politik. Jika ingin membentuk zaken kabinet yang sejati, sebenarnya gudangnya ada di perguruan tinggi. Semua pilihan ada disitu, namun Prabowo sudah terikat dengan kesepakatan bagi-bagi kekuasaan dengan ketum parpol.
Jabatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bisa diibaratkan kursi panas karena kerap menjadi area pertarungan politik berbagai pihak. Bahlil Lahadalia yang kini menjabat Menteri ESDM kursinya belum tentu aman. Bisa jadi Bahlil tidak menduduki kursi tersebut karena banyak kader Partai Gerindra yang lebih kredibel mengemban jabatan Menteri ESDM.
Masih hangat dalam ingatan publik kasus papa minta saham Freeport dan penentuan teknologi produksi blok migas Masela merupakan salah satu contoh pertarungan politik terkait kursi panas Menteri ESDM. Pertarungan politik yang menyebabkan kegaduhan tersebut menyebabkan Sudirman Said dan Rizal Ramli terpental dari Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi.
Hingga kini berbagai proyek migas masih terhambat dan belum ada terobosan yang berarti. Presiden Prabowo Subianto akan dihadang masalah berat untuk mewujudkan kedaulatan energi. Untuk mewujudkan hal itu tentunya diperlukan pejabat di lingkungan ESDM hingga eselon dua yang memiliki kapasitas dalam menghadapi masalah energi dan terampasnya sumber daya alam (SDA) oleh pihak asing. Selain itu para pejabat ESDM jangan lagi terkontaminasi aksi mafia migas dalam berbagai modus.
Sejak awal pemerintahan Jokowi posisi Kementerian ESDM memiliki beban yang sangat berat. Â Menteri ESDM diharapkan bisa membenahi seluruh tata kelola migas dari hulu ke hilir secara cepat. Selama ini terjadi kerancuan penghitungan back allocation. Pada prinsipnya back allocation untuk menghitung volume produksi dan lifting setiap sumur untuk digunakan sebagai dasar perhitungan volume produksi dan lifting masing-masing pihak, termasuk jatah daerah penghasil migas.
Sebaiknya perhitungan tersebut dilakukan berdasarkan data-data well group, well production duration, transaksi volume produksi di setiap entitas ( sumur, stasiun pengumpul, stasiun pengumpul utama ) dan volume lifting yang memiliki karakter dinamik. Selama ini belum ada laporan bagi hasil yang transparan, akurat dan adil berdasarkan lokasi setiap sumur. Belum ada sistem yang optimal dan transparan terkait dengan  back allocation yang mestinya dilakukan dengan menggabungkan antara data-data lifting yang dilakukan oleh para KKKS dibandingkan dengan data-data volumetrik  produksi.
Kabinet Prabowo-Gibran dituntut rakyat agar segera mengakhiri predikat negeri ini sebagai surga bagi para pencuri migas dan minerba. Para mafia migas dan minerba kelas kakap hingga bandit kelas teri harus segera disikat habis. Para mafia selama ini melakukan aksinya secara sistemik pada area pertambangan hingga lifting sehingga negeri ini terjerumus sebagai importir minyak yang sangat boros dan dari tahun ketahun menyebabkan beban berat APBN.
Sudah banyak kajian yang menunjukan adanya sisi gelap lifting migas. Selama ini BP Migas sebagai lembaga yang berkompeten dengan lifting migas ternyata membuat laporan keuangan yang tidak sesuai dengan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan. Selain itu juga tidak memenuhi standar material maupun formal, serta terungkap berbagai penyimpangan oleh kontraktor yang menyangkut klaim cost recovery.
Penyimpangan cost recovery yang dilakukan oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) selain menunjukkan lemahnya pengelolaan sektor migas. Akibatnya tarif Indonesian Crude Price (ICP) yang digunakan sebagai dasar perhitungan  Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor migas selalu jauh di bawah harga jual yang berlaku di pasar. Sehingga pemerintah berkali-kali kehilangan potensi penerimaan negara. Ironisnya kepada KKKS tidak ada denda atas keterlambatan pembayaran hasil penjualan minyak mentah.
Mewujudkan transparansi lifting migas merupakan kata kunci bagi Menteri ESDM untuk mewujudkan keadilan dan menghindari salah urus migas. Langkah awal yang mendesak adalah pengukuran kembali penerimaan bagian pemerintah yang biasa disebut dengan istilah Government Take (GT). Dibutuhkan task force yang kredibel untuk mengukur kembali seberapa besar total penerimaan pemerintah RI dari keuntungan yang diperoleh aktivitas hulu migas.
Rakyat menunggu sosok Menteri ESDM yang mampu menjalankan revolusi pengelolaan SDA di negeri ini. Masalah laten terkait dengan SDA khususnya energi tergambar dalam buku "Paradox of plenty" hasil karya Terry Lynn Karl. Buku itu pada intinya memperlihatkan kepada kita fenomena tentang bangsa yang memiliki  SDA melimpah, seperti minyak, gas, dan minerba tetapi kondisinya sangat mengenaskan seperti ayam mati di lumbung padi.Â
Selama ini kekayaan SDA negeri ini telah terampas oleh pihak asing dengan sistem kontrak bagi hasil yang sangat tidak adil serta tidak transparan alias penuh muslihat. Sehingga kekayaan SDA yang melimpah tadi tidak bisa digunakan semaksimal mungkin untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.
Saat ini merupakan momentum bagi pemerintah untuk bersungguh sungguh melakukan renegosiasi kontrak pertambangan dan migas. Renegosiasi sebaiknya menghasilkan skema bagi hasil yang benar-benar menguntungkan bangsa Indonesia. Bukan renegosiasi yang basa-basi dan mengelabui rakyat. Apalagi, renegosiasi kontrak pertambangan selama ini banyak mengandung kelemahan. Sehingga langkah itu tidak efektif dan kurang berwibawa dimata kontraktor asing.
Indonesia belum memiliki sistem neraca SDA spasial yang baik untuk mengelola usaha pertambangan baik berskala nasional maupun lokal. Dengan adanya sistem neraca SDA spasial yang canggih dan akurat, bisa dilakukan valuasi ekonomi total usaha pertambangan untuk kepentingan rakyat.Â
Sistem neraca SDA spasial adalah perangkat atau instrumen untuk menghitung ketersediaan dan pemanfaatan sumber daya alam dalam satu entitas geografis tertentu untuk mengetahui kondisi yang terkini.
Sistem tersebut sangat berguna untuk penyusunan kebijakan pembangunan lintas sektoral. Dari kacamata disiplin ilmu, sistem neraca SDA spasial merupakan pendekatan yang bersifat analisis kualitatif dan kuantitatif tentang potensi SDA. Sistem tersebut sebaiknya bersifat spasial dan gampang diakses publik. Sehingga ada transparansi publik terkait dengan usaha pertambangan.
Sayangnya, hingga kini pemerintah belum membuat informasi yang akurat  dan andal mengenai letak dan jumlah kandungan SDA pertambangan secara detail. Hal itu menyebabkan perusahaan pertambangan bisa berlaku curang, dalam arti menekan harga sewa atau bagi hasil tambang sekecil-kecilnya.Â
Kondisinya juga bisa sebaliknya, yakni dengan menaikan nilai tambang melebihi nilai yang sebenarnya untuk mengelabuhi. Selain itu kesalahan besar terkait dengan usaha pertambangan adalah kurangnya pengawasan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan eksploitasi. Inilah PR yang penting bagi menteri ESDM. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H