Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bersiap Hadapi Gempa Megathrust

18 Agustus 2024   23:12 Diperbarui: 19 Agustus 2024   00:22 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tsunami akibat gempa megathrust ( sumber : Shutterstock via Kompas ) 

Indeks risiko bencana perlu diturunkan dan kinerja pemerintah daerah terkait bencana harus ditingkatkan. Arah kebijakan pembangunan nasional bidang kebencanaan adalah mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat dalam menghadapi bencana. Dengan strategi internalisasi pengurangan risiko bencana khususnya penurunan tingkat kerentanan terhadap bencana dan peningkatan kapasitas dalam penanggulangan.

Mitigasi hadapi gempa megathrust menjadi pertanyaan publik sejauh mana kegiatan riset dan penelitian tentang tsunami yang selama ini dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah dan perguruan tinggi. Sudah cukup lama lembaga pemerintah itu menggeluti penelitian dan aplikasi teknologi terkait dengan peringatan dini tsunami.

Bahkan Indonesia pernah menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tsunami di Jakarta pada 2005 yang dihadiri oleh banyak negara. Sungguh ironis, kenapa hasil riset tentang tsunami selama ini dan penguasaan teknologi peringatan dini seperti hilang tertelan bumi.

Namun, bencana tsunami di Teluk Palu dan Selat Sunda diwarnai dengan disfungsi peringatan dini. Akibatnya menjadi fatal, banyak korban jiwa karena lemahnya mitigasi dan tiadanya peringatan dini.Pasca bencana tsunami Aceh tahun 2004 Indonesia pernah menjadi negara yang paling aktif dan sangat berkepentingan terhadap riset tsunami. Kemudian terjadi vakum, bahkan alat pendeteksi tsunami yang terpasang banyak yang rusak dan hilang. Selain itu sensor peralatan banyak yang tidak terkalibrasi dengan baik karena tiadanya anggaran untuk perawatan.

Untuk mengatasi stagnasi, pemerintah Indonesia perlu menyelenggarakan KTT tsunami lagi untuk mengikuti perkembangan dunia yang terkait dengan teknologi mitigasi dan segala aspek yang terkait dengan bencana alam. Pada era Industri 4.0 teknologi mitigasi banyak diwarnai dengan big data dan penggunaan sensor dan robotik untuk menangani bencana alam.

Riset dan inovasi terkait mitigasi sudah banyak dilakukan oleh kalangan internasional. Riset dan inovasi itu pada prinsipnya terbagi menjadi tiga bidang utama. Pertama, riset yang ditujukan untuk mengidentifikasi lokasi pusat gempa dan karakteristik gempa yang mempunyai potensi menimbulkan tsunami. Bidang ini merupakan kajian Ilmu Seismologi. Kedua, riset yang diarahkan untuk membuat model penjalaran tsunami dan prediksi tinggi gelombang tsunami pada saat mencapai pantai. Riset semacam ini merupakan kajian Ilmu Oseanografi. Ketiga, riset yang ditujukan untuk mencari cara-cara yang tepat dalam pemantauan tsunami dan perlindungan pantai terhadap bahaya tsunami. Riset semacam ini memerlukan keahlian dalam bidang Seismologi, Oseanografi, dan Teknik Sipil.

Idealnya untuk tiap jarak 100 km di sepanjang pantai yang ada di kepulauan Indonesia diletakkan satu alat pemantau gempa dan gelombang. Riset dunia tentang tsunami sudah berlangsung lama. Sejak tahun 1965 telah dibentuk forum International Tsunami Information System ( ITIC ) dan International Group for the Tsunami Warning system yang berpusat di Hawaii. Badan ini bertugas untuk memberikan peringatan, kewaspadaan, komunikasi, penyebarluasan pengetahuan mengenai tsunami, riset tsunami, memperluas jaringan keanggotaan dan sebagainya.

Potensi terjadinya tsunami di Indonesia sangat mengkhawatirkan jika kita mencermati magnitudo tsunami yang terjadi di Indonesia berkisar antara 1,5 hingga 4,5 skala Imamura, dengan tinggi gelombang tsunami maksimum yang mencapai pantai berkisar antara 4 hingga 24 meter.

Salah satu cara untuk meminimalkan korban tsunami adalah dengan membangun sistem peringatan dini. Selama ini Tsunami Risk Evaluation Trough Seismic Moment a Real Time System (Tremors) yang dimiliki BMKG belum berfungsi secara optimal bahkan tidak dapat berfungsi. Sehingga Tremors perlu dipercanggih dengan sensor dan peralatan dengan teknologi terkini.

Secara teoritis Tsunami lebih mudah diprediksi dibandingkan dengan gempa. Adanya tenggang waktu antara terjadinya gempa dan tibanya tsunami di pantai memungkinkan untuk dapat menganalisis karakteristik gempa. Dalam waktu sekitar 20 sampai 30 menit dapat ditentukan apakah suatu gempa dapat menyebabkan tsunami atau tidak. Informasi tersebut kemudian dapat segera disampaikan ke masyarakat sebelum gelombang tsunami menerjang.

Kondisi pesisir dan garis pantai yang semakin dikomersialisasi semakin rentan dari bahaya tsunami. Wajah pantai yang semakin telanjang dikarenakan perusakan dan pembabatan hutan mangrove atau tanaman bakau. Tanaman pantai jenis mangrove yang menjadi jalur hijau di pantai sudah banyak yang rusak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun