Perjuangan Diplomasi dan Negosiasi, Makna Besar 79 Tahun Indonesia Merdeka
Memperingati Hari Kemerdekaan RI ke-79 perlu reinventing arti perjuangan diplomasi dan negosiasi pada saat perang kemerdekaan. Pada saat itu muncul sederet pejuang atau pahlawan diplomasi bangsa. Peran diplomasi dan negosiasi pada saat itu sangat penting, tidak kalah pentingnya dengan perjuangan angkat senjata.
Makna perjuangan diplomasi dan negosiasi yang diwarisi oleh para pejuang bangsa masih sangat relevan pada saat ini. Apalagi seluruh bangsa di dunia saat ini sangat membutuhkan negosiator dan diplomat pejuang untuk melakukan diplomasi ekonomi, kebudayaan dan kemanusiaan.
Salah satu faktor negara tetangga yang nilai ekspornya lebih baik ketimbang negara kita adalah karena mereka memiliki kemampuan diplomasi ekonomi dan cara negosiasi yang lebih praktis.
Keniscayaan, pemerintahan mendatang perlu merombak para diplomat dan negosiator ekonomi dan perdagangan agar piawai seperti para pejuang kemerdekaan dahulu. Presiden terpilih Prabowo Subianto adalah anak diplomat dan negosiator yang sangat hebat pada zamannya. Sejarah mencatat bahwa
Sumitro Djojohadikusumo diplomat ulung yang memiliki kekuatan narasi yang luar biasa dalam membangun soft power Indonesia. Ayah dari Prabowo yang biasa disapa Pak Cum itu juga dikenal sebagai begawan ekonomi Indonesia, tidak banyak yang mengetahui kalau beliau adalah seorang diplomat yang hebat.
Kehebatan tersebut terekam dalam sebuah artikel di koran New York Times. Artikel yang berbentuk pledoi itu dibuat Sumitro saat berusia 31 tahun.
Pledoi ditujukan kepada pemerintah Amerika Serikat. Pledoi diterbitkan New York Times tanggal 21 Desember, 1948. Ternyata pledoi tersebut berhasil menghentikan aliran dana bantuan Amerika untuk Belanda yang digunakan membiayai operasional militer Belanda atau yang biasa disebut Agresi Militer Belanda pertama dan kedua. Saat itu Sumitro bertugas sebagai Acting Head of the Indonesian Delegation to the United Nations.
Sebagai catatan, setelah Perang Dunia Kedua, Belanda sebenarnya dalam kondisi krisis ekonomi atau sedang mengalami kebangkrutan. Dengan kondisi tersebut Belanda sangat bergantung pada uang bantuan pembangunan kembali Eropa dari Amerika Serikat lewat program Marshall Plan. Ironisnya bantuan program itu justru disalahgunakan pemerintah Belanda untuk membiayai operasi militernya di Indonesia.
Sumitro, pada saat itu masih berusia 31 tahun ditugaskan oleh Presiden Soekarno untuk menghentikan aliran uang Amerika yang digunakan oleh Belanda untuk menjajah Indonesia. Sumitro berjuang di Washington melobi Menteri dan Departemen Luar Negeri AS, dan di New York melobi PBB.