Simalakama Harga Avtur terkait Tiket Pesawat Domestik
Lingkaran setan penyebab mahalnya tiket pesawat domestik tampaknya sulit diatasi oleh pemerintah. Terjadi saling tuding faktor penyebab tingginya harga tiket pesawat domestik. Harga avtur menjadi salah satu kambing hitam masalah diatas. Padahal Pertamina selama ini boleh dibilang sering menjadi "korban" pihak maskapai penerbangan terkait penyediaan avtur.
Kurang logis dan tidak adil jika harga bahan bakar minyak (BBM) penerbangan atau avtur dituding menjadi penyebab mahalnya harga tiket pesawat di Indonesia. Bahkan Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) menuding bahwa harga avtur di Indonesia lebih mahal ketimbang harga di beberapa bandara internasional. Tudingan KPPU ini perlu dibuktikan secara detail, apakah seperti itu faktanya.
Sebagai Gambaran, mari kita cermati ketentuan dari Pertamina bahwa harga avtur untuk penerbangan domestik periode 1-29 Februari 2024 di Bandara Soekarno Hatta tercatat sebesar Rp 13.300 per liter. Bandara Kulonprogo sebesar Rp 15.415 per liter, Bandara Deli Serdang Rp 15.047 per liter, Bandara Ahmad Yani Rp 15.359 per liter, dan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Rp 15.359 per liter.
Selanjutnya, untuk penerbangan internasional dari Bandara Soekarno Hatta sebesar Rp 12.249 per liter (asumsi kurs Rp 15.685 per dolar AS), Bandara Kulonprogo Rp 14.116 per liter, Bandara Deli Serdang Rp 13.802 per liter, Bandara Ahmad Yani Rp 14.116 per liter, dan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Rp 13.959 per liter.
Melihat contoh harga diatas jika dibandingkan dengan penjualan avtur oleh pihak swasta yakni Shell yang disalurkan untuk bandara internasional, terlihat harga avtur di Indonesia oleh Pertamina lebih murah.
Selama ini harga avtur yang dipasok PT Pertamina (Persero) bagaikan buah simalakama. Jika harga avtur ditekan lagi maka kondisi keuangan Pertamina semakin berdarah-darah. Karena selama ini kebutuhan avtur sebagian masih impor. Sedangkan kilang dalam negeri yang menghasilkan avtur kapasitasnya kurang memadai. Secara teknis produktivitas kilang dalam negeri yang memproduksi avtur juga kurang efisien.
Harga avtur di dalam negeri sebenarnya sudah ekonomis dari sisi Pertamina. Jika pemerintah ingin menekan lagi harga itu maka salah satu instrumen adalah memotong pajak bahan bakar pesawat. Selama ini pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi avtur untuk keperluan angkutan udara di Indonesia sebesar 10 persen. Besaran ini bisa dipotong hingga satu digit, seperti di sejumlah negara tetangga di Asia Tenggara.
Dalam industri penerbangan, avtur merupakan komponen tertinggi biaya operasional. Ironisnya dalam komponen perhitungan harga tiket, biaya bahan bakar hanya dikenakan sebesar 26 persen dari harga tiket.
Pengadaan avtur oleh Pertamina selama ini sebagian harus impor dari luar negeri, antara lain dari Singapura dan Korea Selatan. Karena dua negara tersebut jaraknya relatif lebih dekat dan harganya cukup kompetitif. Sebanyak 40 persen avtur yang disediakan Pertamina untuk bandara di seluruh Tanah Air harus diimpor dari negara lain.