Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Tiket Pesawat Domestik dalam Genggaman Perusahaan Leasing

23 Juli 2024   12:47 Diperbarui: 23 Juli 2024   12:50 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi masalah tiket pesawat domestik  (sumbder : Garuda Indonesia via voi.id )

Tiket Pesawat Domestik dalam Genggaman Perusahaan Leasing 

Biaya penyewaan pesawat terbang selama ini berkontribusi sekitar 20-25 persen dalam pembentukan harga tiket. Jumlah ini kedua setelah biaya bahan bakar avtur yang menyumbang 30-31 persen. Dua faktor inilah yang perlu direstrukturisasi jika harga tiket pesawat domestik ingin diturunkan secara signifikan.

Penentuan Tiket Pesawat Domestik menyulitkan industri penerbangan. Apalagi ada perubahan peraturan terkait penerbangan. Dimana pelaku industri penerbangan atau maskapai tidak lagi dibatasi oleh jumlah kepemilikan pesawat terbang dalam menjalankan bisnisnya.

Implikasi dari ketentuan diatas mencuatkan paradoks. Karena bertujuan mendorong lahirnya pelaku bisnis penerbangan yang baru. Ironisnya justru jumlah penumpang pesawat sulit terdongkrak secara signifikan. Selain itu harga tiket pesawat domestik dalam genggaman Perusahaan leasing.

Pemberlakuan UU Cipta Kerja mengubah beberapa peraturan terkait industri penerbangan dan sangat menguntungkan pihak investor,terutama yang selama ini berperan menjalankan bisnis penyewaan atau leasing pesawat untuk maskapai.

Dengan UU omnibus law pelaku bisnis penerbangan tidak perlu bersusah payah untuk memenuhi ketentuan terkait jumlah pesawat minimal yang harus dimiliki.Ketentuan jumlah pesawat tertentu untuk maskapai berjadwal yang disebutkan di pasal 60 UU Cipta Kerja tentang perubahan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan membuat bisnis penerbangan kurang sehat.

Pasalnya liberalisasi yang keterlaluan dalam bisnis penerbangan bisa merusak ekosistem industri dirgantara di Tanah Air. Dan juga bisa mengurangi aspek keselamatan penerbangan karena ketentuan bisnis penerbangan sangat longgar.

Penghapusan pasal 118 ayat 2 UU Nomor 1/2009 terkait ketentuan kepemilikan jumlah pesawat bagi maskapai dengan penerbangan berjadwal dihapus. Sebelumnya, pasal tersebut mensyaratkan angkutan udara niaga berjadwal minimal harus memiliki 5 unit pesawat dan 5 unit pesawat dari menyewa.

Berkat omnibus law, maskapai penerbangan berjadwal tidak perlu memiliki jumlah minimal pesawat untuk menjalankan bisnisnya. Ketentuan inilah yang selama ini diharapkan bagi pelaku bisnis yang berafiliasi dengan industri leasing atau sewa armada penerbangan.

Industri leasing pesawat meningkat secara signifikan selama beberapa dekade terakhir. Kegiatan sewa pesawat ini telah mengalami peningkatan dari 2 persen pada tahun 1980 menjadi lebih dari 50 persen pada saat ini.Menurut penelitian dari Market Research Future, Pasar Leasing pesawat melonjak hingga tahun 2024.

Selama ini perusahaan sewa pesawat telah menerima sejumlah insentif dari pemerintah. Antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2019 impor pesawat udara dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan pesawat udara (maintenance, repair and overhaul/ MRO) tidak dipungut PPN. Selain itu, jasa persewaan pesawat udara (leasing) dari luar pabean dan jasa perawatan dan perbaikan pesawat udara (MRO) juga tidak dipungut PPN.

Padahal biaya penyewaan pesawat berkontribusi sekitar 20-25 persen dalam pembentukan harga tiket. Jumlah ini kedua setelah biaya bahan bakar avtur yang menyumbang 30-31 persen. UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan diperjelas dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 97 Tahun 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kepemilikan dan Penguasaan Pesawat Udara.

Namun beberapa maskapai belum memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan dalam pemenuhan kepemilikan pesawat dan penguasaan pesawat. Dilain pihak Kemenhub tidak berani membekukan surat izin usaha angkutan udara baik berjadwal maupun tidak berjadwal ketika maskapai melanggar.

Sebenarnya dalam ketentuan disebutkan bahwa maskapai yang punya banyak pesawat tapi statusnya hanya sewa juga bisa dicabut izinnya. Alasan dari regulasi tersebut ialah untuk memberikan jaminan pelayanan bahwa alat produksi tidak bermasalah. Hal ini juga untuk memberikan kepastian tentang status kepemilikan modal.

Apalagi jika terjadi kasus sengketa bisnis akibatnya pesawat bisa ditarik oleh perusahaan leasing tanpa mempedulikan aspek kebutuhan konektivitas daerah dan kepentingan konsumen. Praktik bisnis sewa pesawat saat ini sangat beragam. Yang pasti mereka selama ini menghasilkan keuntungan besar meskipun maskapai yang menyewanya dilanda kerugian.

Sebagai gambaran PT Garuda Indonesia Tbk mengeluhkan soal biaya sewa pesawat dan biaya lain dalam perjanjian kontrak yang dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan maskapai pesaing lain. Manajemen Garuda mengatakan dari total 132 unit pesawat yang dioperasikan sebanyak 91 persen adalah sewa. Adapun, pesawat yang merupakan milik maskapai pelat merah tersebut adalah enam unit Airbus 330 dan enam unit Bombardier CRJ-1000.

Ironisnya biaya sewa pesawat yang dikeluarkan lebih tinggi 1,5 hingga 2 kali lipat dibandingkan dengan maskapai pesaing lain di kawasan Asia Pasifik menurut mantan Dirut Garuda dalam kesempatan rapat dengar pendapat di Gedung DPR.

Selain biaya leasing, Garuda masih diwajibkan menyetor biaya tambahan kepada lessor dengan jumlah yang tidak sedikit. Setiap tahun, Garuda harus membayar US$150 juta -US$200 juta dalam bentuk cadangan untuk biaya pemeliharaan pesawat yang disewa.

Jika maskapai penerbangan dalam proses bisnisnya memilih untuk menyewa pesawat, mereka bisa bekerja sama dengan beberapa leasing company seperti ACMI, GECAS, dan AerCap yang sudah berkelas internasional. Sebagian besar perusahaan penerbangan memilih untuk menyewa daripada membeli pesawat. Bentuk kerja sama penyewaan ini secara garis besar terbagi dua, yaitu dry leasing atau wet leasing.

Wet leasing merupakan penyewaan jangka pendek untuk periode 1-24 bulan. Kerja sama model ini biasanya dilakukan untuk waktu-waktu tertentu seperti musim liburan hari besar, ketika ada perawatan tahunan, atau untuk inisiasi rute baru. Sementara dry leasing merupakan penyewaan jangka panjang, minimal untuk 2 tahun. Sementara bentuk kerja sama lainnya adalah sale and lease back.Contohnya, pernah dilakukan Garuda Airlines dengan ICBC Financial yang menyewakan lima unit Boeing 777-300ER dan enam unit Airbus 320-200. (TS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun