Selama ini perusahaan sewa pesawat telah menerima sejumlah insentif dari pemerintah. Antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2019 impor pesawat udara dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan pesawat udara (maintenance, repair and overhaul/ MRO) tidak dipungut PPN. Selain itu, jasa persewaan pesawat udara (leasing) dari luar pabean dan jasa perawatan dan perbaikan pesawat udara (MRO) juga tidak dipungut PPN.
Padahal biaya penyewaan pesawat berkontribusi sekitar 20-25 persen dalam pembentukan harga tiket. Jumlah ini kedua setelah biaya bahan bakar avtur yang menyumbang 30-31 persen. UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan diperjelas dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 97 Tahun 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kepemilikan dan Penguasaan Pesawat Udara.
Namun beberapa maskapai belum memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan dalam pemenuhan kepemilikan pesawat dan penguasaan pesawat. Dilain pihak Kemenhub tidak berani membekukan surat izin usaha angkutan udara baik berjadwal maupun tidak berjadwal ketika maskapai melanggar.
Sebenarnya dalam ketentuan disebutkan bahwa maskapai yang punya banyak pesawat tapi statusnya hanya sewa juga bisa dicabut izinnya. Alasan dari regulasi tersebut ialah untuk memberikan jaminan pelayanan bahwa alat produksi tidak bermasalah. Hal ini juga untuk memberikan kepastian tentang status kepemilikan modal.
Apalagi jika terjadi kasus sengketa bisnis akibatnya pesawat bisa ditarik oleh perusahaan leasing tanpa mempedulikan aspek kebutuhan konektivitas daerah dan kepentingan konsumen. Praktik bisnis sewa pesawat saat ini sangat beragam. Yang pasti mereka selama ini menghasilkan keuntungan besar meskipun maskapai yang menyewanya dilanda kerugian.
Sebagai gambaran PT Garuda Indonesia Tbk mengeluhkan soal biaya sewa pesawat dan biaya lain dalam perjanjian kontrak yang dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan maskapai pesaing lain. Manajemen Garuda mengatakan dari total 132 unit pesawat yang dioperasikan sebanyak 91 persen adalah sewa. Adapun, pesawat yang merupakan milik maskapai pelat merah tersebut adalah enam unit Airbus 330 dan enam unit Bombardier CRJ-1000.
Ironisnya biaya sewa pesawat yang dikeluarkan lebih tinggi 1,5 hingga 2 kali lipat dibandingkan dengan maskapai pesaing lain di kawasan Asia Pasifik menurut mantan Dirut Garuda dalam kesempatan rapat dengar pendapat di Gedung DPR.
Selain biaya leasing, Garuda masih diwajibkan menyetor biaya tambahan kepada lessor dengan jumlah yang tidak sedikit. Setiap tahun, Garuda harus membayar US$150 juta -US$200 juta dalam bentuk cadangan untuk biaya pemeliharaan pesawat yang disewa.
Jika maskapai penerbangan dalam proses bisnisnya memilih untuk menyewa pesawat, mereka bisa bekerja sama dengan beberapa leasing company seperti ACMI, GECAS, dan AerCap yang sudah berkelas internasional. Sebagian besar perusahaan penerbangan memilih untuk menyewa daripada membeli pesawat. Bentuk kerja sama penyewaan ini secara garis besar terbagi dua, yaitu dry leasing atau wet leasing.
Wet leasing merupakan penyewaan jangka pendek untuk periode 1-24 bulan. Kerja sama model ini biasanya dilakukan untuk waktu-waktu tertentu seperti musim liburan hari besar, ketika ada perawatan tahunan, atau untuk inisiasi rute baru. Sementara dry leasing merupakan penyewaan jangka panjang, minimal untuk 2 tahun. Sementara bentuk kerja sama lainnya adalah sale and lease back.Contohnya, pernah dilakukan Garuda Airlines dengan ICBC Financial yang menyewakan lima unit Boeing 777-300ER dan enam unit Airbus 320-200. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H